(Tulisan ini dibuat pada tanggal 05 September 2005)
[didedikasikan untuk para multiplier dan blogger cewek yang curhat tentang laki-laki di Internet :) ]
Sudah cukup saya banyak mendengar dan membaca pengalaman dari perempuan yang mengalami perlakukan tidak adil dari laki-laki. Mulai dari sekedar yang terjadi di hubungan interpersonal biasa, sampai pada hubungan suami-istri yang jatuh jadi hubungan yang abusive. Tidak kurang saya dengar juga adalah dari media massa, terutama televisi. Siapa yang tidak tahu soal banyaknya skandal rumah tangga di kalangan selebritis ? Dari semua itu, saya melihat bahwa sangat mudah jenis kelamin laki-laki digiring untuk mendapatkan citra sebagai pihak yang salah, pihak yang lebih sebagai penyebab, daripada sebagai korban.
Sejarah panjang umat manusia yang panjang itu pasti sudah mencatat secara statistik bahwa laki-laki memang lebih banyak membuat gara-gara dalam masalah cinta. Dimulai dari anggapan bahwa laki-laki itu lebih berkuasa, perkasa, dominan, apalagi dalam rumah tangga adalah pihak yang biasanya mencari nafkah sehingga secara ekonomis lebih superior, dan oleh karenanya perempuan menjadi subordinat darinya. Maka pelecehan, kekerasan, dan segala yang abusive lainnya akan menjadi iminen untuk terjadi. Tidak mengherankan kalau akhirnya tinggal menjadi kepastian bahwa di era informasi ini lalu ada inisiatif untuk membentuk organisasi pemberdayaan perempuan, termasuk komisi anti kekerasan terhadap perempuan. Istilah feminisme lalu menjadi sangat stereotipik untuk perempuan. Apakah tidak mungkin seorang laki-laki menjadi seorang feminis ? Pertanyaan ini saja sudah pasti aneh kedengarannya.
Sebelum ada yang bilang bahwa 'this is just another male chouvinist pig blunder' atau bahwa keberpihakan gender saya tidak jelas, saya mau buru-buru mengatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama manusia. Jadi, apa konsekuensi dari saya mengatakan ini ? Jelas, bahwa keduanya sama-sama juga punya potensi untuk ngaco. Saya harus bilang ini soalnya diskursus populer tentang gender itu, misalnya, sudah sering terlanjur untuk menjadi sangat tipikal untuk diam-diam mengasumsikan bahwa fokus masalahnya adalah pada perempuan sebagai korban atau objek. Oke, pasti ada kekaburan di situ sebagai excuse. Maksudnya, tidak terlalu ditegaskan juga bahwa pasti laki-laki adalah womanizer dan perempuan adalah korban, tapi lihat saja lanskap diskursusnya secara keseluruhan. Saya ulangi pertanyaan tadi, "apakah tidak mungkin laki-laki menjadi seorang feminis ?"
Intinya saya mau mengatakan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban perempuan. Kenapa tidak ? Hanya karena yang muncul ke permukaan itu lebih sering perempuan yang jadi korban, apakah tidak mungkin laki-laki mendapatkan pelecehan dari perempuan ? Bisa dan sangat bisa. Dalam rangka itu kayaknya pemahaman kita soal kekuatan, kekuasaan, superioritas, machoisme, dan kata-kata sifat lain yang biasanya atributif ke laki-laki harus dimodifikasi sedikit. Pertanyaannya di sini, apakah survival dalam hidup itu hanya bisa didasarkan pada dimensi yang maskulin belaka ? Sudah lama Jung (1875-1961) punya konsep tentang anima dan animus; bahwa dalam diri seseorang harus ada karakteristik perilaku yang feminin dan maskulin dalam proporsi yang wajar, dan equilibrium akan terganggu kalau salah satu karakteristik itu lebih mendominasi dari yang lain, yang keluar dari proporsinya yang sehat.
Nah, sekarang bagaimana persisnya perempuan bisa melakukan itu ke laki-laki ? Mungkin secara garis besar ada dua macam; satu yang memanfaatkan persepsi umum tentang wanita (yang lemah, feminin, dst) dan yang mengatasi persepsi itu atau yang terjadi melalui suatu munculnya sebuah masalah yang subyektif. Kiranya tidak bisa hal itu dipisah secara tegas. Pada kenyataannya keduanya saling bercampur. Tapi entahlah, di samping argumentasi yang 'obyektif' tentang sebuah masalah, sepertinya kalau laki-laki mungkin akan lebih tampil dengan kesan 'power' atau kuasa yang dimilikinya, sedangkan perempuan lebih maju dengan mengedepankan kenyataan bahwa ia adalah 'korban' sementara ia merujuk pada sebuah wacana umum bahwa menjadi korban adalah tidak adil atau tidak manusiawi. Tentu ini juga bukan sebuah generalisasi. Bisa saja terjadi, perempuan lebih mengedepankan 'kuasanya', kharismanya, bahkan mungkin kekuatan fisiknya (!), tapi apa yang terjadi kalau yang sebaliknya terjadi pada laki-laki ? Laki-laki jelas akan berada dalam posisi yang sangat terpuruk.Ini kok mirip dengan analogi pada pakaian. Laki-laki dan perempuan punya ciri busananya masing-masing; tapi perempuan bisa mengenakan banyak busana yang
berciri maskulin dan akan masih bisa diterima sebagai wajar; tapi tidak demikian halnya bila laki-laki mengenakan busana yang feminin. Di sini kok kesannya, bargaining position perempuan itu lebih besar dari laki-laki.
Saya ingat sebuah point bacaan dari wacana pasca kolonialisme. Katanya, selemah apapun pihak yang dianiaya, atau sekuat apapun kuasa yang dimiliki si penganiaya, tetap saja sebenarnya pihak yang lemah memberikan perlawanan, dan perlawanan itu harus dimulai dengan tidak menegaskan diri kita sebagai lawan. Secara filosofis, setiap subjek pasti punya objek. Bila seorang subjek memiliki intensi yang relasional kepada objek dan diterima oleh objek itu, maka objek itu akan meneguhkan dirinya dalam relasinya kepada subjeknya itu ? Pusing ? He, he .... ya dalam konteks ini, rasanya kok saya ingin mengajak berpikir bahwa setiap ada masalah yang berkaitan dengan relasi laki-laki perempuan, marilah kita lihat masalahnya tidak dengan sudut pandang yang dikotomis, tidak dengan cara yang membuat polarisasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan adalah sama manusia. Dan menurut saya feminis adalah sebuah kata sifat yang bisa juga ditujukan ke laki-laki. Meski gimana pengejawantahannya, saya harus mikir dulu .... :)
Ketika Romeo terlihat lebih banyak membawa barang di stasiun daripada Juliet, apakah kita bisa menyimpulkan Romeo mencintai Juliet ? Kenapa tidak sekali-kali berpikir bahwa Juliet memanfaatkan cara berpikir Romeo supaya dia tidak capek-capek ? Atau .... dalam konteks di mana lampu sering dimatikan, ketika Romeo lah yang lebih aktif dan berpikir aktifnya itu menunjukkan kemachoannya, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa Romeo telah membahagiakan Juliet ? Kenapa kita tidak membalikkannya sekali-kali ? Juliet bisa pasif, dan memanfaatkan persepsi tentang verilitas laki-laki, karena dengan begitu dia bisa tidak keluar usaha dan tenaga terlalu banyak, sementara ia sendiri bisa lebih menikmati ?
Saya mulai curiga, jangan-jangan di balik atribusi semua kata sifat tentang laki-laki yang menunjukkan keunggulannya dibanding perempuan itu sebenarnya adalah jebakan!