(Tulisan ini saya buat tanggal 6 September 2005)
Saya tidak pernah memikirkan ini sungguh-sungguh, sampai suatu ketika ada beberapa peristiwa yang terjadinya agak berurutan, yang menginspirasi saya. Semuanya berhubungan dengan bagaimana orang hidup dengan perangkat komunikasi yang populer sekarang ini, yaitu HP. Di Indonesia dan beberapa negara Asia, alat itu disebut handphone, tapi di Eropa orang menyebutnya Cell Phone.
Hampir semua orang sekarang punya alat yang satu ini. Kehadirannya sebagai sebuah perangkat teknologi cukup mengagumkan, karena kini banyak orang merasa tidak lengkap kalau bepergian tidak membawanya. Saya bilang mengagumkan karena proses difusi barang ini sampai kepada taraf identifikasi kebutuhan orang, bahkan hingga penciptaan kebutuhan. Maksud saya, dengan adanya HP, orang ditawari sebuah solusi komunikasi, di mana akhirnya ada cara untuk mengontak seseorang secara langsung di manapun orang itu berada (sejauh masih dalam jangkauan BTS). Bukan hanya itu, kehadiran HP juga menciptakan kebutuhan baru. Artinya, bisa terjadi bahwa orang yang tadinya tidak membutuhkan alat itu, akhirnya jadi merasa butuh juga. Kejadian ini barangkali hampir analog dengan apa yang terjadi ketika hari-hari pertama televisi menjadi populer. Semua orang akhirnya merasa itu adalah sebuah kebutuhan dalam keluarga.
Lalu mengapa saya menghubungkan ini dengan irasionalitas ? Bahwa kini HP sudah menjadi piranti gaya, banyak orang yang sudah maklum. Tapi saya mau bilang bahwa ujung-ujungnya orang menjadi tidak rasional lagi dengan keputusannya untuk membeli alat ini. Dulu pernah ada masanya bahwa bila orang memiliki HP yang ukurannya agak besar, orang itu mungkin akan merasa minder karena besarnya HP identik dengan tidak fleksibelnya barang ini. Orang ada yang mencibirnya sebagai remote control, bahkan batu bata :). Aneh memang. Entah kapan trend semacam itu berakhir. Yang jelas, dari sejak kemunculannya hingga kini Nokia seri 9, yang ukurannya lebih besar dari rata-rata, adalah HP yang malah cukup bergengsi. Mungkin karena harganya yang tidak murah, mungkin juga karena teknologi yang ada di dalamnya (?), tapi mungkin juga karena sorotan televisi pada selebritis selalu menyempatkan fokus pada mereka yang sedang menentengnya. Saya kira ini adalah awal irasionalitas yang saya maksud. Awalnya benda ini adalah alat komunikasi, tapi lalu berubah jadi piranti gaya dan gengsi. Orang barangkali bisa tidak peduli apakah ia sering ditelpon atau tidak. Yang penting dengan memiliki HP, apalagi yang ukurannya kecil, orang berpikir bahwa gengsinya meningkat.
Masa di mana orang pamer HP dengan ukuran kecil jelas sudah lewat. Sekarang, irasionalitas itu berubah. Awalnya adalah sebuah pergeseran permaknaan dari alat komunikasi ke piranti gaya dan gengsi. Kini yang saya lihat, yang terjadi lebih patetik lagi. Meski sebenarnya HP masih diperlakukan dengan cara yang sama, tapi kini orang bisa tidak peduli dengan teknologi yang ada pada alat ini. Jadi, sebagai piranti gengsi itu masih berlaku, tapi kini ketika ukuran dan berat HP menjadi semakin kecil dan ringan, serta teknologi yang ada di dalamnya semakin canggih, orang bisa tidak peduli dengan harganya, yang tentu ditetapkan antara lain berdasarkan jumlah teknologi yang ada padanya. Yang penting adalah dengan menenteng HP keluaran terbaru dengan bentuk yang ergonomis futuristik, serta kecanggihan yang mencengangkan, rasa percaya diri bisa terangkat. Akan tetapi yang bersangkutan menggunakan HP itu mungkin hanya untuk menelpon, mengirim SMS, dan paling banter adalah .... memotret!
Saya menulis begini bukan dengan asumsi bahwa saya sudah melakukan sensus, tapi kalau saya ingat-ingat lagi ke belakang, ternyata memang ada segolongan orang yang seperti itu. Kalau uang bukan masalah, ya semuanyapun tidak jadi soal, tapi yang saya lihat justru adalah adanya orang-orang yang menggunakan HP yang jenis, kelas, dan harganya tidak sesuai dengan bagaimana kiprah orangnya secara sosial. Err, maksud saya, misalnya, seorang mahasiswi yang nampaknya hidupnya pas-pasan dan belum bekerja, tapi kok bisa saya pergoki menenteng SonyEricsson P910i? Dan dugaan saya pun benar ketika saya tanyakan apakah dia menggunakan GPRS atau bluetooth di situ. Saya malah bisa membuat dia terheran-heran karena bisa mengirim pesan ke HPnya tanpa saya tahu nomer HPnya. (Ini adalah yang disebut dengan Bluejacking, yang akan saya jelaskan pada tulisan lain).
Bluetooth, itu baru satu hal. Sebut saja teknologi yang kini ada (atau 'dibenamkan' - kiasan para redaktur majalah HP yang kini jadi terdengar tidak orisinil lagi) pada HP keluaran terbaru: Infrared, GPRS, WAP, Push Email, Integrated PDA, MP3 player, radio FM, Kamera (dengan megapixel yang semakin tinggi), bahkan video recorder. Pertanyaan kritis yang bisa diajukan para pembeli HP sekarang ini adalah apakah mereka membeli HP dengan teknologi yang mereka butuhkan ? Memang, di kalangan para advertiser ada semacam permakluman bahwa orang bisa membeli suatu barang bukan karena ia membutuhkan, tapi karena faktor lain yang justru di luar nilai intrinsik barang itu. Iya, tapi masalahnya di sini kita tidak sedang berbicara tentang bahan kebutuhan yang konsumtif, tapi sebuah teknologi, atau mungkin barangkali sebuah aset. Lebih penting lagi sebenarnya, kita berurusan dengan tingkat apresiasi publik pada teknologi. Kalau publik hanya membeli HP sebagai piranti gengsi dan tidak terutama pemenuhan kebutuhannya yang rasional pada teknologi, maka kalau tidak ini semakin menegaskan kita ini masih represif-neurotik pada impuls-impuls defektif pasca kolonial, ya kita ini tidak memajukan kemungkinan interaksi yang peluangnya disodorkan oleh teknologi itu.
Memang sampai kapanpun kita tidak akan bisa mengharapkan bahwa yang namanya gaya akan bertolak dari sesuatu yang rasional. Tapi gimana tidak neg, ketika suatu ketika saya diundang ke rumah seorang teman karena dimintai tolong soal komputernya, dan di depan saya dia dan istrinya berdebat soal mana HPnya yang lebih mahal. Sang suami pake O2 dan si Istri pake Nokia 9500. Sementara HP di kantung celana saya adalah Siemens ME45!