Wednesday, August 29, 2007

Kimiawi Cinta

Banyak kenaifan dalam hidup kita sehari-hari. Salah satu contohnya adalah berpikir bahwa latar belakang atau penyebab dari sikap, tingkahlaku, persepsi, bahkan suasana hati kita itu disebabkan karena suatu hal yang sifatnya eksternal dari eksistensi diri kita. Padahal kenyataannya semua itu bersumber dari reaksi kimiawi dari berbagai macam hormon dalam tubuh kita. Judul tulisan ini sudah saya bayangkan berhari-hari. Sebenarnya tidak saja berkaitan dengan cinta, tapi juga berkaitan dengan berbagai hal lain dalam hidup kita.
Tidak mungkin saya membahas ini semua dalam satu tulisan blog. Saya di sini hanya akan mendaftar dulu nama-nama hormon dalam tubuh kita yang bertanggungjawab untuk semua itu. Lalu akan saya buatkan link per item ke blog lain yang saya dedikasikan khusus untuk ini. Kenapa mesti ada blog khusus ? Ya soalnya ini akan menjadi sebuah proyek riset kecil saya. Saya menuliskan ini juga sekalian untuk belajar. Tentu saja sebagian besar bahannya adalah dari search di Internet.
Hormon-hormon yang saya maksud kebanyakan sulit untuk diucapkan. Antara lain adalah :
  1. Dehydroepiandrosterone
  2. Oksitosin
  3. Phenylethylamine
  4. Estrogen
  5. Testosteron
  6. Serotonin
  7. Dopamin
  8. Progesteron
  9. Prolaktin
  10. Vasopressin
Barangkali bukan hanya itu saja. Bisa jadi ada yang lain. Saya akan tambahkan kemudian.

Thursday, August 09, 2007

Inspirasi dari 'Blood Diamond'

Nonton filem 'Blood Diamond' bukan hanya bikin saya terkagum-kagum pada bagaimana Leonardo DiCaprio mengubah aksen Inggrisnya, tapi juga inti ceritanya yang langsung membersitkan sebuah pertanyaan yang arahnya bisa menuju ke mana-mana. Apakah semua benda itu harus kita apresisasi sesuai dengan keberadaannya yang kongkrit di depan mata kita, atau kita harus juga meluaskannya ke riwayat bagaimana benda itu hadir, tercipta, dan lika-liku sejarahnya ? Apakah kita harus memperlakukan setiap buah cipta manusia tidak saja dengan nilai produksinya, tapi juga nilai kesejarahannya ?
Pikiran itu begitu mendalam ada di saya sehabis nonton karena saya sendiri merasa di belantara banjir benda-benda di zaman ini rasanya kok penghargaan kita pada benda-benda cenderung hanya dari nilai gunanya saja. Habis pakai, lalu dibuang atau disingkirkan. Ya, memang betul kita akan langsung berpikir soal nilai kesejarahan sebuah benda manakala yang kita hadapi adalah benda antik, misalnya. Tapi ya itu tadi, di zaman kita ini adalah zaman banjir benda-benda, dan yang saya maksud di sini adalah benda-benda baru keluaran sistem produksi industrial. Kita seperti diarahkan untuk hanya menghargai benda dari nilai kegunaannya saja.
Dalam bidang teknologi, nampaknya akan ada kecenderungan bahwa penghargaan untuk nilai kesejarahan sebuah prosuk teknologi akan mati sama sekali. Siapa yang bisa bangga menggunakan telpon selular yang bentuknya chubby, tidak bisa mengirim sms, berat, dan hanya untuk menelpon saja ? Parahnya lagi, produk keluaraan pabrik yang terbaru selalu lebih baik / bagus dari sebelumnya, bahkan lebih murah. Kita jadi gampang tergiur untuk membeli lagi, mengupdate lagi apa yang kita punya supaya tak ketinggalan dengan tren yang ada. Ada kecurigaan saya di sini. Mengapa ada kecenderungan bahwa produk yang lebih bagus / murah selalu muncul belakangan sesudah kita menggunakan / mengadopsi barang sebelumnya yang banyak kekurangannya dan mahal ? Apa jangan-jangan para periset di industri itu memang sengaja mengeluarkan barang setengah matang. Yang penting laik guna meski tidak sempurna. Lalu lempar saja ke pasar. Untung akan di dapat, dan untung akan didapat lagi ketika barang yang punya fungsi sama diupdate teknologinya, dipercanggih. Lalu iming-imingnya adalah lebih murah, lebih menguntungkan, dsb. Coba bayangkan, kenapa sistem operasi komputer mesti ganti-ganti terus ? Kenapa CDMA dipopulerkan belakangan setelah kita semua punya yang GSM ? Mungkin saya naif karena perkembangan teknologi tidak selalu sejajar dengan produksinya secara massal pada industri, tapi siapa yang tidak kesal ?
Sekarang, apakah inspirasi di atas tadi bisa kita kenakan pada manusia ? Persisnya pertanyaannya adalah, apakah kita seharusnya menghargai manusia itu tepat seperti kehadirannya di hadapan kita, yang lalu akan menyejarah dalam kebersamaannya dengan kita, atau kita juga mesti layangkan concern kita pada riwayatnya yang lalu ? Apakah bagi kita manusia itu suatu kenyataan yang imanen atau yang transenden ? Apakah manusia itu harus kita bayangkan sebagai keberadaan yang ketika mencapai tingkat tertentu akan identik dengan pencapaiannya itu, atau tidak ?
(bersambung)