Friday, December 28, 2007

Burton The Unlocker

Kira-kira dua minggu yang lalu saya mengalami musibah dengan salah satu motor saya, Mio. Bukan kecelakaan, tapi ketika saya terburu-buru mengenakan jas hujan pada anak-anak saya, tanpa sengaja tangan saya menyenggol jok yang ketika itu sedang terbuka. Padahal, di dalam jok itu sebelumnya saya taruh kunci motor. Saya baru menyadari itu ketika semua sudah siap dan mau berangkat. Saya kaget kok kunci motor tidak ada. Saya cari ke mana-mana pun tidak ada. Hingga akhirnya saya ingat bahwa pasti kunci motor itu ada di dalam jok yang sekarang sudah terkunci.
Praktis saya tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Segera saya panggil taksi untuk mengantar anak-anak pulang. Setelah mereka safe sampai rumah, baru saya mikir bagaimana caranya membawa motor itu pulang dari tempat parkir sekolah anak-anak. Saya lalu telpon ke seorang teman, siapa tahu dia punya ide. Dia menyarankan saya untuk datang ke tukang kunci yang biasanya ada di pinggir jalan. Dia sarankan saya untuk mengajak si tukang kunci ke motornya, lalu biarkan dia bekerja. Saya agak tidak percaya, karena biasanya kerjaan tukang kunci hanya menduplikat kunci saja, tapi saya jalankan juga saran itu.
Saya ajak tukang kunci yang tidak terlalu jauh kiosnya dari rumah saya. Namanya Burton. Saya sudah sering papasan dengan orang ini, tapi karena tidak kenal langsung dan belum pernah ada urusan sama dia, jadi baru saat itu saja saya kenalan. Saya bawa dia dengan taksi yang saya pakai sebelumnya ke tempat saya memarkir Mio.
Di taksi dia bilang bahwa segala macam urusan yang berhubungan dengan kunci dia bisa kerjakan. Insya Allah, semua bisa saya buka, kecuali pintu ke surga, katanya. Bahkan membuatkan kunci dari pintu yang sudah hilang kuncinya pun dia bisa. Malah dia menawarkan kalau ternyata kunci Mio saya itu ternyata tidak ada di bawah jok, maka dia bisa membuatkan kunci kontak Mio yang baru. Dia bisa lakukan itu di tempat. Lainnya, dia cerita bahwa dia sering mendapat panggilan malam bahkan dini hari dari orang yang kehilangan kunci rumahnya dan tidak bisa masuk. Saya masih agak skeptis karena mungkin dia ngomong begitu mau promosi. Tapi saya jadi berubah pikiran, ketika melihat dia bekerja.
Begitu turun dari taksi dia langsung saya tunjukkan Mio saya. Saya bahkan belum sempat selesai membayar taksi, dia sudah berhasil membuka jok Mio saya itu, dan menemukan kunci kontaknya. Gila! Cepat sekali. Bahkan terlalu cepat! Akhirnya saya bonceng dia kembali ke kiosnya dan dia minta 45 ribu. Ok-ok saja buat saya.
Jadi kepikiran, ada bagusnya juga saya simpan nomer hp si Burton ini. Who knows ? Dan terlintas, betapa sebenarnya sangat mudah bagi dia untuk menjadi pencuri. Pencuri apa saja! Apalagi rumah yang tidak dijaga sama sekali. Tidak semua orang yang memegang posisi basah dan duduk di kursi empuk yang harus punya ketahanan moral. Ada juga orang biasa, kelas pinggir jalan, yang kalau tidak punya ketahanan moral, dia bisa jadi jahat. Padahal, dilihat sepintas, nampaknya kehidupannya jauh dari mapan dan mungkin mudah membayangkan dia sekali-sekali bisa punya fleksibilitas moral yang mengizinkan dirinya jadi maling.

Wednesday, December 12, 2007

Long Time No Blog

Dengan load pekerjaan setiap hari yang begitu berat, belum lagi masalah-masalah pribadi / keluarga yang selalu harus didahulukan untuk selesai, bisakah seseorang diharapkan untuk selalu membuat entri baru pada blog-nya ? Saya bertanya begini karena dari dulu ingin sekali menjadi penulis setia blog karena memang kenyataan begitu banyak dalam kehidupan sehari-hari yang harus saya dokumentasikan dalam tulisan. Meskipun pada kenyataannya untuk sebagian besar sifatnya pribadi, bahkan sangat pribadi, tapi saya sekurangnya berusaha untuk tidak seperti yang dituduhkan secara sinis oleh kalangan tertentu yang skeptis pada blog, yaitu bahwa blog hanya untuk tempat mejeng, curhat, mengutuk orang, atau sekedar cuap-cuap yang terlalu remeh.
Terlalu remeh ? Memang inilah yang selalu segera dituduhkan pada saya, bahwa saya selalu serius. Tapi saya nggak peduli. This has been just the way I am. Sejak kuliah S1 dan kenal dengan berbagai perspektif pemikiran, peristiwa sehari-hari sering saya tafsirkan dengan menghubungkannya ke sana-sini. Turbulensi pemikiran yang ada, oleh karenanya, menjadikan tangan ini gatal untuk menuliskannya. Makanya begitu ingat blog, saya jadi gelisah nggak puguh karena ini baru menulis lagi sejak saya buat entry terakhir. Meskipun harus saya akui juga bahwa diri saya ini sekarang rada anakronis. Sudah lama tidak diam di kursi dan membaca buku baru.
Tapi ya sudah lah. Sekarang ada kesempatan nulis. Blog on.

Wednesday, August 29, 2007

Kimiawi Cinta

Banyak kenaifan dalam hidup kita sehari-hari. Salah satu contohnya adalah berpikir bahwa latar belakang atau penyebab dari sikap, tingkahlaku, persepsi, bahkan suasana hati kita itu disebabkan karena suatu hal yang sifatnya eksternal dari eksistensi diri kita. Padahal kenyataannya semua itu bersumber dari reaksi kimiawi dari berbagai macam hormon dalam tubuh kita. Judul tulisan ini sudah saya bayangkan berhari-hari. Sebenarnya tidak saja berkaitan dengan cinta, tapi juga berkaitan dengan berbagai hal lain dalam hidup kita.
Tidak mungkin saya membahas ini semua dalam satu tulisan blog. Saya di sini hanya akan mendaftar dulu nama-nama hormon dalam tubuh kita yang bertanggungjawab untuk semua itu. Lalu akan saya buatkan link per item ke blog lain yang saya dedikasikan khusus untuk ini. Kenapa mesti ada blog khusus ? Ya soalnya ini akan menjadi sebuah proyek riset kecil saya. Saya menuliskan ini juga sekalian untuk belajar. Tentu saja sebagian besar bahannya adalah dari search di Internet.
Hormon-hormon yang saya maksud kebanyakan sulit untuk diucapkan. Antara lain adalah :
  1. Dehydroepiandrosterone
  2. Oksitosin
  3. Phenylethylamine
  4. Estrogen
  5. Testosteron
  6. Serotonin
  7. Dopamin
  8. Progesteron
  9. Prolaktin
  10. Vasopressin
Barangkali bukan hanya itu saja. Bisa jadi ada yang lain. Saya akan tambahkan kemudian.

Thursday, August 09, 2007

Inspirasi dari 'Blood Diamond'

Nonton filem 'Blood Diamond' bukan hanya bikin saya terkagum-kagum pada bagaimana Leonardo DiCaprio mengubah aksen Inggrisnya, tapi juga inti ceritanya yang langsung membersitkan sebuah pertanyaan yang arahnya bisa menuju ke mana-mana. Apakah semua benda itu harus kita apresisasi sesuai dengan keberadaannya yang kongkrit di depan mata kita, atau kita harus juga meluaskannya ke riwayat bagaimana benda itu hadir, tercipta, dan lika-liku sejarahnya ? Apakah kita harus memperlakukan setiap buah cipta manusia tidak saja dengan nilai produksinya, tapi juga nilai kesejarahannya ?
Pikiran itu begitu mendalam ada di saya sehabis nonton karena saya sendiri merasa di belantara banjir benda-benda di zaman ini rasanya kok penghargaan kita pada benda-benda cenderung hanya dari nilai gunanya saja. Habis pakai, lalu dibuang atau disingkirkan. Ya, memang betul kita akan langsung berpikir soal nilai kesejarahan sebuah benda manakala yang kita hadapi adalah benda antik, misalnya. Tapi ya itu tadi, di zaman kita ini adalah zaman banjir benda-benda, dan yang saya maksud di sini adalah benda-benda baru keluaran sistem produksi industrial. Kita seperti diarahkan untuk hanya menghargai benda dari nilai kegunaannya saja.
Dalam bidang teknologi, nampaknya akan ada kecenderungan bahwa penghargaan untuk nilai kesejarahan sebuah prosuk teknologi akan mati sama sekali. Siapa yang bisa bangga menggunakan telpon selular yang bentuknya chubby, tidak bisa mengirim sms, berat, dan hanya untuk menelpon saja ? Parahnya lagi, produk keluaraan pabrik yang terbaru selalu lebih baik / bagus dari sebelumnya, bahkan lebih murah. Kita jadi gampang tergiur untuk membeli lagi, mengupdate lagi apa yang kita punya supaya tak ketinggalan dengan tren yang ada. Ada kecurigaan saya di sini. Mengapa ada kecenderungan bahwa produk yang lebih bagus / murah selalu muncul belakangan sesudah kita menggunakan / mengadopsi barang sebelumnya yang banyak kekurangannya dan mahal ? Apa jangan-jangan para periset di industri itu memang sengaja mengeluarkan barang setengah matang. Yang penting laik guna meski tidak sempurna. Lalu lempar saja ke pasar. Untung akan di dapat, dan untung akan didapat lagi ketika barang yang punya fungsi sama diupdate teknologinya, dipercanggih. Lalu iming-imingnya adalah lebih murah, lebih menguntungkan, dsb. Coba bayangkan, kenapa sistem operasi komputer mesti ganti-ganti terus ? Kenapa CDMA dipopulerkan belakangan setelah kita semua punya yang GSM ? Mungkin saya naif karena perkembangan teknologi tidak selalu sejajar dengan produksinya secara massal pada industri, tapi siapa yang tidak kesal ?
Sekarang, apakah inspirasi di atas tadi bisa kita kenakan pada manusia ? Persisnya pertanyaannya adalah, apakah kita seharusnya menghargai manusia itu tepat seperti kehadirannya di hadapan kita, yang lalu akan menyejarah dalam kebersamaannya dengan kita, atau kita juga mesti layangkan concern kita pada riwayatnya yang lalu ? Apakah bagi kita manusia itu suatu kenyataan yang imanen atau yang transenden ? Apakah manusia itu harus kita bayangkan sebagai keberadaan yang ketika mencapai tingkat tertentu akan identik dengan pencapaiannya itu, atau tidak ?
(bersambung)

Saturday, July 07, 2007

Face of a Saint, Hands of a Sinner

Saya pernah membaca di sebuah resensi buku yang isinya mempertanyakan mengapa orang yang nampaknya sehari-hari baik, berprestasi, terpandang, dan sopan tiba-tiba ketahuan melakukan hal yang tidak masuk akal atau punya sisi lain yang tidak pantas secara sosial. Sebelum saya ceritakan yang ini, saya pernah mengalaminya dan saya ungkapkan di sini. Berbeda dengan itu, yang saya alami sekarang betul-betul dekat dengan saya sebagai pribadi. Sungguh tidak habis pikir, kenapa ini bisa terjadi.

Baru-baru ini saya merenungkan lagi konsep dalam Eksistensialisme yang disebut bad faith. Dalam konsep itu, menurut saya, dikatakan bahwa orang bisa sangat teridentifikasi dengan peran dan posisi sosialnya sehingga seolah-olah ia memang 100 persen seperti itu, tidak bisa lain. Saya kira ini tentu juga bisa dalam kaitannya dengan pilihan seseorang tentang perbuatannya. Orang yang sehari-harinya baik, berprestasi, terpandang, atau sopan akan segera mengesankan bahwa ia memang 100 persen seperti itu. Kita bahkan sulit untuk membayangkan sebuah figur yang sebaliknya pada orang itu. Tapi kata siapa dia tidak mungkin untuk menjadi sebaliknya ?

Saya termasuk yang percaya bahwa Kemanusiaan adalah sebuah konstruksi. Suatu konstruksi menjadi pilihan karena memang dirasakan fit dengan batas-batas eksistensi. Nah, yang menjadi masalah adalah, bagaimana mungkin seseorang secara diam-diam keluar dari konstruksi itu dan merasa bahwa itu adalah sebuah sikap / perilaku yang pantas dipilih ? Mengapa orang bisa merasa tidak nyaman lagi dengan perspektif kemapanan etis yang ada ?

Dalam bentuknya yang kongkrit, teori topeng itulah yang muncul. Dihadapan kita ia adalah sebuah figur yang oke-oke saja. Hingga saatnya ia berbuat kesalahan atau kecerobohannya membuat rahasia hitamnya itu terbongkar. Kalau sudah begitu, apakah sebaiknya kita selalu menyisakan ruang dalam diri kita bagi orang yang kita kenal, bahwa ia mungkin juga jadi seperti Dr. Jekyll and Mr. Hyde ?

Dalam psikologi, secara dingin itu dikatakan bahwa gejala-gejalanya bisa disebut mulai dari perilaku bipolar, psikopat, sampai kepribadian yang terbelah. Tapi dalam kehidupan nyata ini, berhadapan langsung dengan orang seperti itu adalah sebuah horor, apalagi kalau sampai pada kehidupan pribadi kita.

Saya melihat, sampai batas usia matang tertentu, orang bisa gamang terpenjara pada dua hal saja; dalam lingkup sosial adalah uang dan yang dalam lingkup personal atau intersubyektif adalah seks. Reduksi kemultidimensionalan ini terjadi secara serius karena tekanan kehidupan mudah menjauhkan orang dari semangat religius dan dengan mudah ia jatuh menjadi seorang komunis sejati yang kecil-kecilan. Hidup itu harus pantas, katanya, dan hari ini yang disebut pantas sering adalah yang masuk ke bawah sadar kita tentang apa yang kita lihat di televisi. Lalu karena semua orang berkeluarga dan keluarga itu adalah sebuah institusi shockbreaker buat kebinatangan kita, maka diam-diam banyak yang sebenarnya adalah ultra-freudian pragmatis. Bila kebinatangan itu dapat tersalurkan dengan baik, maka katanya segalanya pun akan menjadi baik dengan sendirinya. Aduh, terlalu banyak hilang. Di mana tempatnya bagi apresiasi tentang keindahan ? tentang seni, tentang puisi, tentang yang relatif ?

Saya ingin sekali berteori bahwa kepribadian yang ganda atau terbelah itu kalau tidak karena sebab-sebab yang psikiatrik, maka itu sebenarnya karena pemiskinan dimensi kehidupan. Orang jadi berpikir terlalu sederhana, bahwa hidup itu yang penting tinggal begini atau begitu. Jadi, terlalu banyak yang hilang, terlalu banyak yang tidak diapresiasi. Lalu, saya curiga bahwa ini dapat dengan mudah terjangkit pada orang-orang yang kerja dan profesinya menghadapkan dia pada pilihan hitam atau putih, dan yang darinya bisa mendapatkan uang dengan mudah.

Dengan cepat saya di sini membayangkan seorang yang naif. Dia bilang, kata siapa saya tidak punya apresiasi pada semua itu ? Buktinya saya punya ini itu, melakukan ini itu, dan beli ini itu. Salah kaprah ! Yang paling sulit di sini adalah bahwa sama sekali tidak ada jalan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa kita sudah punya apresiasi yang memadai untuk kemultidimensionalan diri kita. Soalnya hanya kita sendiri lah yang tahu, dan di sini kita sama sekali tidak berurusan dengan indikator yang bisa dilihat. Lagian, semuanya ini tidak mungkin bisa instan, tapi lebih merupakan akumulasi dari proses belajar yang memakan waktu sepanjang hidup.

Akhirnya, ternyata memang persepsi kita gampang dipenjara oleh indra. Seeing is believing, katanya, dan bila kita melihat orang lain, maka fokus kita adalah pada wajahnya. Kita suka lupa, wajah boleh seperti orang suci, tapi dari tangannya, mungkin ia adalah seorang pelacur.

Apa Sebenarnya Murtad Itu?

(Ini Saya tulis pada 2 September 2005)

Mengherankan, ada sebuah klaim tentang jalan yang paling benar menuju Tuhan. Ketika ada pihak lain punya jalannya sendiri, mereka tidak memberi hak hidup pada jalan itu, juga orang-orangnya, termasuk cara mereka menuju jalan itu. Yang lebih mengherankan, semua jalan yang ada menuju Tuhan itu juga menyatakan bahwa mereka mengajarkan kasih sayang, antikekerasan, dan segala ungkapan kemanusiaan yang lain. Akan tetapi pada prakteknya, ada saja di antara mereka yang menyulut kekerasan, penindasan mayoritas terhadap minoritas.
Paradoks itu mesti ditambah lagi dengan kenyataan yang sudah sama kita sering tahu. Ada orang yang rajin beribadah, tapi melakukan korupsi, kolusi, dan hal-hal busuk lain. Sementara ada orang yang mungkin atheis, atau sekurangnya agnostik, tapi malah terlihat dengan jelas melakukan hal-hal yang mempromosikan kasih sayang.
Apakah menjadi religius itu harus berorientasi vertikal atau horizontal ? Penutupan paksa tempat ibadah di Bandung / Jawa Barat dengan dalih bahwa telah terjadi pemurtadan agar terjadi perpindahan agama sungguh sangat disesalkan. Kalau kita telusuri hingga ke akar masalahnya paling dalam, apakah sebuah komunitas religius berhak melakukan intervensi kepada sebuah subyektifitas ? Pada sebuah milis bahkan dikatakan bahwa untuk murtad adalah sebuah hak bagi manusia, yang penting dengan apa yang dilakukannya itu ia telah berusaha menjadi manusia yang lebih baik dari yang sebelumnya.
Itu adalah suatu hal yang tentu akan membuat telinga orang biasa menjadi merah. Entah apa arti murtad atau pemurtadan sebenarnya, apakah selalu orientasinya negatif, atau apakah akar katanya malah punya konotasi yang sebenarnya netral saja.
Ketika sesuatu telah menjadi lembaga, adalah masuk akal kalau lalu ada langkah-langkah untuk menegaskan eksistensinya di antara yang lain. Untuk itu maka identitas dibentuk dan sadar atau tidak sadar para pendukung atau supporternya akan membuat langkah-langkah yang tidak akan membiarkan pelecehan terhadap identitas itu dengan cara apapun. Iya tapi itu kalau masalahnya berkenaan dengan hal-hal duniawi. Sungguh mencemaskan bahwa untuk hal-hal yang religius hal semacam itu terhadi. Telah terjadi obyektifikasi terhadap hal-hal yang subyektif.
Dan untuk itu, kita bisa memahami bahwa kata murtad adalah sesuatu yang harus punya konotasi jelek.

Menjelang Hari Kematian "The Godfather of The Truth"

(Ini adalah tulisan yang saya buat tanggal 25 Februari 2005)

Saya masih ingat betul, di halaman-halaman awal bukunya Negroponte yang populer itu (Being Digital) dikesankan bahwa kehidupan cyber adalah sesuatu yang tidak wajar. Mungkin malah dikesankan bahwa dunia itu penuh dengan ekses yang membuat orang jadi melarikan diri dari kontak nyata dengan orang lain. Ya siapa yang bisa mengelak dari kebenaran itu kalau latarnya adalah sebuah penggunaan Internet yang overdosis? Memang betul, penelitian-penelitian di Amerika tentang penggunaan Internet mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa tinggal masalah waktu dan meningkatnya kualitas infrastruktur hingga akhirnya intensitas penggunaannya meningkat dan akan memiliki dampak buruk pada sosiabilitas orang yang menggunakannya. Tapi jangan lupa juga mesti dikatakan bahwa itu adalah efek yang paradoks, yang buat saya bukan hanya konseptual, tapi juga pada kenyataannya. Maksudnya, paradoks itu bukan hanya dari kenyataan bahwa Internet adalah sebuah teknologi komunikasi yang sebenarnya akan lebih memperkuat hubungan dan ikatan sosial yang dimiliki orang, tapi juga dari sebuah potensi yang dimiliki Internet dalam konteks intellectual discourse yang sangat demokratis. Intinya, kalau sudah mengatakan bahwa Internet itu punya dampak negatif, jangan lupa untuk juga mengedepankan bahwa medium ini punya kelebihan nyata yang pantas dirayakan.

Saya mungkin akan telah menulis ini dengan sangat emosional. Seperti kalau terlalu banyak yang ingin kita katakan ketika membela diri, sedangkan yang kita punya hanya satu mulut ini. Dalam kaitan itu Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk membahas ulang problematika yang sering dijadikan ilustrasi dari pengantar Empirisisme tentang apa yang real dan tidak real, tapi saya harus sedikit mengesankan ke arah sana karena banyak orang yang dengan begitu mudah mengatakan bahwa pertemuan tatap muka adalah real, dan interaksi melalui Internet adalah tidak. Saya nggak mau ikut dalam arus pembagian itu, karena kesannya masalah real dan tidak real dalam kaitannya dengan Internet itu jadi soal selera dan perasaan, sedangkan esensinya dikesampingkan. Yang saya permasalahkan adalah sesuatu yang mengatasi real atau tidak real itu. Pertanyaannya memang dalam konteks intellectual discourse; apakah kebenaran bisa lebih terfasilitasi oleh medium Internet ?

Saya bukannya mau mencanangkan suatu kepribadian yang maniak ilmiah, tapi please pahami ini dalam konteks intellectual discourse itu. Jawaban atas pertanyaan itu buat saya adalah: Ya! Memang ada yang pasti menggugat dengan mengatakan bahwa yang disebut kebenaran adalah sesuatu yang tidak bisa obyektif dan berada dalam relasi di antara orang-orang yang memiliki dunia yang sama, bahkan kultur yang sama. Bukan itu. Maksud saya di sini adalah sebuah kebenaran dan proses untuk mencapainya yang bisa ditempuh oleh intersubyektifitas yang tidak diganggu oleh otoritas politis individu dan variasi karakter psikologis orang-orang yang mungkin saja di lain tempat mengklaim dirinya sebagai demokratis (plus mungkin religius!), tapi pada kenyataannya ia adalah seorang Godfather of the Truth.

Negroponte mungkin akan memberikan argumen yang sama seperti dalam bukunya untuk poin saya itu. Tapi coba bayangkan, di luar sana ada bapak-bapak dan ibu-ibu intelektual terhormat yang lupa bahwa dalam diri mereka telah tertanam bias individu yang begitu memalukan. Itu adalah hal yang biasanya mungkin menjadi bahan kasak-kusuk di dalam kelas oleh mahasiswa yang merasa sebal oleh kuliah dan pembawaan dosennya. Para mahasiswa tahu bahwa akan ada saatnya demi kelancaran studinya mereka akan harus menyerahkan idealisme yang mereka miliki untuk kekeraskepalaan sang pembimbing. Akan ada saatnya pula bagi mereka yang terus membawa semangat membela diri tapi akhirnya kandas dengan kesadaran bahwa memang betul; di ujung pendidikan, yang ada bukan lagi kebebasan untuk menjadi dan mengembangkan diri sendiri, tapi sebuah kepatuhan pada segalanya itu, mulai dari otoritas yang ada karena struktur hingga ke praksis intelektualitas yang tertutup, tidak dialogis, dan mungkin malah neurotik.

Saya mau bilang ini adalah skandal, tapi skandal dari jenis yang begitu lumrah karena memang tidak baru, terjadi terus-menerus, dan lokusnya tidak pada wilayah publik. Tapi coba lihat apa yang mungkin bisa terjadi melalui Internet ? Ya bukannya mau menganalogikan situasi mahasiswa-dosen itu secara langsung, tapi maksudnya lebih ke potensi dialog untuk munculnya kebenaran itu lho. Memang, interaksi melalui Internet itu ditandai oleh reduced sosial cues (kurang adanya isyarat-isyarat sosial) yang tanpanya (social cues itu) komunikasi mungkin akan bisa mengarah ke kesalahpahaman. Tapi lihat sekali lagi, bukankah melalui Internet komunikasi itu tidak sekedar one-way traffic ? Mereka yang malas mungkin akan bicara soal efisiensi di sini. Emangnya sejak kapan komunikasi melalui Internet harus kita lakukan dengan begitu susah payah sehingga untuk sekali melakukannya harus mempertimbangkan variabel itu ? Apakah harus bolak-balik ke warnet ? Apakah harus berulang-ulang melakukan dial-up ? Iya memang ada masalah infrastruktur di sini, tapi mereka yang berpegang pada argumen itu seperti diam-diam menganalogikan komunikasi pada media konvensional dengan Internet. Internet ya beda lagi. Orang yang memang sudah memutuskan untuk menggunakan media ini ya harus sekaligus mengasumsikan ia tidak hanya sekali saja melakukannya, dan punya tanggungjawab untuk kontinuitas komunikasinya demi dialog yang telah ia ikuti.

Meskipun ditandai dengan reduced social cues, tapi justru di situlah kekuatan interaksi melalui Internet. Di lain pihak interaksi sosial yang konvensional dalam rangka intellectual discourse itu saya pikir malah terlalu banyak outputnya diwarnai oleh social cues dari komunikator yang ada. Saya bicara soal kebenaran yang SEBISA MUNGKIN kita tampilkan wajahnya yang obyektif. Dalam tataran itu tentu jelas dengan sendirinya bahwa interaksi dalam rangka intellectual discourse yang kental diwarnai oleh social cues malah akan lebih menampilkan sisi subyektif dan kebenaran itu. Tapi bayangkan sebuah interaksi di mana yang menjadi penentu dari marketable-nya sebuah gagasan adalah kualitas gagasan itu sendiri, dan bukan terutama subyek yang mengemukakannya. Bukannya si subyek tidak penting. Ingat, sekali lagi di sini saya bicara soal kebenaran yang SEBISA MUNGKIN kita tampilkan wajahnya dengan obyektif. Jangan membawa ini ke luar konteksnya. Nah, bukankah interaksi melalui Internet adalah sebuah alternatif yang sangat menarik ?

Manakala marketable-nya atau survival-nya sebuah gagasan / konsep adalah lebih berkenaan dengan kualitasnya dan bukan subyek yang melontarkannya, maka akan terbuka bagi kemungkinan dihasilkannya output pemikiran yang lebih demokratis dan tentu saja dengan cara itu kita bisa mulai melihat jalan ke arah "obyektifitas" (dalam arti kurangnya intervensi subyektifitas). Mungkin berlebihan, tapi saya sangat tergoda untuk mengatakan bahwa pada setting dialog sosial yang represif, komunikasi dalam rangka kepentingan ilmiah sering berubah jadi semacam khotbah saja, dan keberadaan fisik komunikator adalah noise, bahkan distorsi bagi niat semula untuk mencapai yang luhur, altruistik, bahkan yang ilmiah. Sayangnya hingga kini Untuk sebagian besar orang, interaksi ilmiah melalui Internet belum mendapat tempat terhormat. Sialnya pada saat yang bersamaan yang lebih populer malahan gambar porno, hoax alias info palsu, virus, dan pencurian kartu kredit. Kapan para intelektual akan merayakan Internet sebagai sebuah jalan baru untuk menegaskan eksistensinya secara lebih jujur?

Ya akan ada saatnya. Sementara mungkin internet bagi mereka yang otoriter itu adalah sebuah inovasi yang adopsinya penuh dengan perjuangan serta persepsi tentang kerumitan dan ketidakpraktisan, mungkin mereka sendiri sadar bahwa potensi interaksi yang ada pada media ini pada akhirnya akan meminggirkan mereka, memberikan counter pada kredibilitas mereka yang selama ini tidak terusik, bahkan menjatuhkan mereka ke dalam perang flaming karena anonimitas yang bisa ada pada interaksi ini juga bisa menampilkan sisi gelapnya.

Barangkali memang masih lama juga. Tapi ketika itu terjadi, akan ada sekelompok orang yang bersulang untuk mensyukuri hari kematian the Godfather of the Truth. Saya tak akan ragu untuk bergabung dalam pesta itu.

Harga Empati dan Subyektifitas untuk seorang Psikolog

(Ini adalah tulisan yang saya buat bulan Februari 2005)

-- ini adalah insinuasi untuk seseorang --

Semua orang pernah menjalani waktu di mana sesudahnya ia menjadi sadar dengan cara yang tidak biasa tentang makna sesuatu, tentang harga sesuatu. Semakin sering dan banyak ia mengalami itu, ia semakin menjadi tidak naif, dewasa, dan tahu caranya melihat dan memperlakukan sesuatu dengan lebih baik. Saya pikir itu adalah bagian dari proses menjadi manusia. Banyak proses itu harus dijalani dengan bawaan perasaan yang tidak menyenangkan, kesedihan, bahkan penderitaan. Segalanya memang adil. Kita menderita, tapi kita pasti mendapatkan sesuatu dari penderitaan itu.

Yang berbahaya adalah manakala ada seseorang yang hidupnya relatif mulus, tapi dia memiliki jabatan atau profesi yang berhubungan dengan subyektifitas orang. Psikolog dan Psikiater adalah dua profesi yang paling saya maksud. Ada lagi, tapi saya tidak begitu yakin, yaitu dokter dan mereka yang berprofesi di bidang hukum. Mereka yang pekerjaannya berkaitan dengan kejiwaan orang lain akan sangat parah jadinya kalau mereka terlalu obyektif, kurang empatik, naif, dan hidupnya terlalu bahagia.

Terlalu bahagia? Iya bukannya tidak mungkin mereka untuk belajar, tapi pertanyaan pentingnya adalah apakah nilai, makna, dan harga sebuah penderitaan dapat diabstraksikan dengan rasionalitas ? Maksud saya, tanpa mengalami sendiri suatu pengalaman penderitaan, apakah seseorang bisa diharapkan memahami sepenuhnya kedalaman perasaan dan pikiran orang yang sedang ditimpa kemalangan? Ada beberapa hal yang bisa diabstraksikan begitu, tapi saya yakin ada perbedaan kualitas antara belajar memahami sesuatu dengan susah payah melalui pengalaman langsung dan yang hanya belajar memahaminya melalui common sense. Bahaya yang ada adalah, mereka yang mempelajari hal-hal subyektif dari orang lain tanpa mengalaminya sendiri (atau tanpa empati yang memadai) akan cenderung jatuh ke dalam obyektifitas. Alias, menilai dan mengukur segalanya melalui kategori-kategori dengan derajat atau arah-arahan ke kepastian tertentu.

Soal obyektifitas itu, ada hari-hari dalam sejarah pemikiran tentang manusia di mana pertentangan yang ada adalah antara obyektifitas dan subyektifitas. Antara Ilmu dan Filsafat, antara berpikir sistematis dan diagnostik. Ini bukan soal benar atau salah, tapi lebih ke soal apakah kita mau lebih bijaksana. Kalau kita mau lebih bijaksana, ya kedua perspektif itu harus kita ambil untuk menilai sesuatu. Tapi bahkan kesadaran akan hal ini ternyata sering juga tidak bisa diharapkan muncul setelah seseorang memahaminya secara rasional. Orang cenderung obyektif. Orang cenderung mendasarkan segala persepsinya pada kategori-kategori yang ada di kepalanya. Dalam hal ini, saya yakin bahwa seorang psikolog muda juga cenderung obyektif. Maka lebih aman bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang obyektif seperti menganalisa hasil tes atau membuat profil kepribadian. Tapi kalau diserahkan kepada mereka tugas-tugas konsultasi, nampaknya mereka harus menerimanya dengan sebuah kerendahan hati.

Saya bukan psikolog, tapi saya tidak mau bodoh. Dan saya ingin mengajak siapa saja untuk juga tidak bersikap taken-for-granted pada apa yang dikatakan oleh seorang Psikolog, siapapun dia. Malangnya, orang kebanyakan mungkin menghadapi mereka dengan sikap yang kurang lebih sama ketika mereka menghadapi dokter. Mereka menyerahkan subyektifitas mereka dengan imajinasi bahwa seorang psikolog mungkin lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Saya di sini tidak sedang mencanangkan semacam gerakan anti-psikologi, tapi saya ingin menggarisbawahi bahwa pengalaman kita tentang diri kita sendiri punya harga. Harga yang sangat mahal, dan pengalaman itu tidak bisa diutak-atik begitu saja oleh intrusi dari orang luar. Nampaknya yang diperlukan memang bukan saja seorang psikolog yang tidak naif, tapi juga promosi tentang bagaimana cara kita bersikap memperlakukan psikolog.

Seperti sebuah takdir mungkin, bahwa yang obyektif itu yang cenderung menang, dan yang subyektif adalah yang terpinggirkan. Sikap obyektif adalah sebuah cara yang memungkinkan kita bisa melakukan 'share' dengan orang lain karena dengannya kita bisa mengidentifikasikan hal-hal yang relatif sama dalam pengalaman kita. Kita perlu untuk bersikap obyektif, tapi demi penghormatan dan apresiasi kita bahwa Kebenaran itu tidak sekedar hitam-putih, maka kita mesti memberi tempat yang semestinya pada subyektifitas. Ada hal dalam diri manusia yang kedalamannya tidak bisa diukur dengan kata-kata, tidak bisa dibahasakan sama sekali. Maka dari itu harga empati dan subyektifitas bagi seorang psikolog adalah setali dengan kemanusiaannya sendiri: kemanusiaannya yang dengan rendah hati wajib membuka diri dan sadar sepenuhnya bahwa ia mudah terjerumus ke dalam obyektifitas yang mungkin menghakimi orang lain bahkan dunia.

Usia Kemanusiaan mungkin memang sudah ribuan tahun dan sudah ditulis serta dicatat dalam sejarah berbagai macam literatur. Tapi apakah kalau begitu harus diandaikan sudah tidak ada lagi yang tidak terduga? Perlu waktu untuk segalanya bisa terungkap. Namun banyak dari kita yang tidak bisa berharap itu terjadi dengan membiarkannya begitu saja berlalu. Mungkin memang kita harus dengan sadar membuatnya mengalir terus dalam darah, hingga akhirnya merasuk ke dalam seluk beluk, relung-relung hidup kita.

Mengasalkan Semangat Hidup Pada Sebuah Kepicikan Pribadi

(Tulisan ini saya buat tanggal 10 Februari 2005)

-- tanggapan untuk tudingan SBP pada saya --

Kalau saja pada seorang manusia, darinya dilucuti segala-galanya, maka dari kondisi yang paling minimal itu apa kiranya yang masih tersisa yang bisa ia gunakan untuk bertahan diri? Hanya satu, yaitu pikirannya sendiri. Peradaban kita telah membuat hal seperti itu mungkin menjadi sebuah ekstrem yang jarang dijumpai. Tapi situasi-situasi batas hidup kita tidak jarang membuat kita buta dan berpikir bahwa kita adalah makhluk yang sendirian di planet ini. Manakala itu terjadi, entah kita akan menyerah kalah, meniscayakan diri pada orang lain bahwa kita tidak dapat hidup tanpa mereka, atau kita tetap berpegang pada ego bahwa hidup adalah sebuah proyek yang harus kita selesaikan, yang manifestasinya bisa mengambil macam-macam sublimasi.

Masalahnya adalah, setelah kita tahu bahwa yang tersisa hanyalah pikiran / kesadaran kita sendiri, lalu apa dasar yang kita punya bahwa kita masih harus terus hidup? Hidup untuk sebagian besar adalah sesuatu yang tidak perlu kita pikirkan. Hanya perlu kita jalani saja. Tapi pada situasi batas di mana itu terlintas dalam benak kita, jawaban apa yang bisa kita ajukan? Kebanyakan dari kita menghindar dari pertanyaan itu, atau kalaupun mesti berhadapan dengannya, mereka akan tampil dengan jawaban yang sama itu saja. Maka yang dilakukan orang adalah menghindari obyektifikasi jawaban itu, menghindari pendekatan kognitif sebagai jawabannya. Alih-alih, kesadaran kita lebih memilih sesuatu yang tidak jelas, tidak dapat dideskripsikan wujudnya, tapi memiliki efek yang nyata, yang akan membuat kita tidak saja ingin tetap hidup, tapi memajukannya.

Itulah pengertian Semangat yang saya maksud di sini. Apakah kita bisa mengatakannya sebagai sebuah kebutaan manakala seseorang membiarkan dirinya dipandu olehnya dan pada saat yang sama ia tidak dapat menjawab ketika kita tanya ke mana ia Mengarah? Ya tapi itulah manusia. Ia tidak selamanya harus bertanggungjawab secara literal untuk semua perbuatannya. Malah mungkin sebagian
besar dari tindakan kita sama sekali tidak ada pembenarannya! Tapi, pada situasi-situasi batas manusia yang paling bawah, ada saatnya yang bisa kita lakukan hanyalah memungut saja apa yang ada pada jalan mendaki dan berkerikil tajam itu, yang bisa tetap membuat kita tetap bermakna dan bernyawa. Betul-betul apa saja! Apa jadinya bila kita berada di dalam situasi di mana pilihan kita untuk survive adalah dengan memilih berpegang pada sesuatu yang mungkin secara normatif jelek? Seperti judul ini; bagaimana bila kita mengasalkan semangat hidup pada sebuah kepicikan pribadi?

The end should not justify the means. Tapi apakah selalu semua mata rantai dari proses itu harus koheren dengan segala yang baik? Buat saya, kalau itu dimungkinkan terjadi, maka selamat dan terpeliharalah konstruksi moralitas seorang manusia, tapi bagaimana bila tidak? Ada kalanya sesuatu mungkin berawal buruk, tapi ujungnya berakhir bagus. Rasanya kalau kita selalu berharap bahwa segalanya harus berawal dengan segala bagus dan berakhir bagus adalah sebuah move yang tidak realistis. Kenapa kita tidak terbuka saja pada kemungkinan, dan pada saat yang sama mengantisipasi kalau yang buruk terjadi? Buat saya, koherensi normatif pada rantai proses moralitas perilaku manusia adalah sesuatu yang hanya diharapkan terjadi saja, tapi tidak selamanya kita punya kendali pada hal itu. Maka dari itu, pada kondisi di mana kita sangat helpless, mungkin kita harus menggapai apa saja yang bisa kita raih untuk survival kita. Dalam kaitannya dengan semangat hidup itu, bagaimana kalau kita mengasalkannya pada kepicikan kita sendiri?

Seseorang mungkin neurotik, dan berpikir bahwa tidak ada seorangpun yang menghargai dan mencintainya. Tapi ia berpegang teguh pada pendirian eksistensialnya dan berpikir bahwa ia akan membuat semua orang menoleh kepadanya berkat prestasi luar biasa yang dicapainya. Seseorang lain mungkin menaruh rasa benci pada kaum borjuis, dan pada saat yang sama ia tidak ingin menjadi seorang snob. Tapi berkat rasa bencinya itu akhirnya ia malah bisa mengangkat sebuah praksis kehidupan yang lebih manusiawi. Seorang perempuan boleh jadi tidak terlalu menarik dan tidak bisa menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, tapi ia adalah seorang Jeanne d' Arc yang gagah berani. Terus terang, saya nggak percaya bahwa dari ujung awal proses tindakan kita hingga akhir dari tercapainya tujuan harus terdiri dari semua yang secara normatif baik. Kalau itu terjadi, ya syukurlah. Tapi ini juga bukan pencanangan bagi sebuah niat yang jahat dalam rangka mencapai suatu tujuan.

Apa yang diperlukan nampaknya adalah keterbukaan pada kemungkinan apapun dan kesetiaan kita pada Kemanusiaan, yang bila saatnya memungkinkan akan kita dukung dengan sepenuh hati, tapi yang bila saatnya kurang memungkinkan bukannya kita tolak. Tapi tidak kita hadapi dengan sikap yang perfeksionis moral. Soalnya, (akan) ada saatnya di mana imajinasi membawa kita ke kegelapan yang paling pekat untuk melihat masa depan, dan satu-satunya pembimbing kita (mungkin) adalah setitik cahaya yang asalnya belum tentu dari dunia yang penuh dengan semerbak wangi bunga dan tempat yang bersih dari segala noda. Noda kemanusiaan kita semua.

Memilih Satu Berarti Memilih Untuk Semua (*)

(Tulisan ini dibuat pada tanggal 18 Juli 2005)

Untuk: LLH

Selalu ada cukup banyak kata-kata untuk menggambarkan segala sesuatu. Tapi aku memilih judul ini karena saat-saat kebersamaan denganmu selalu berkali-kali mengingatkan aku pada kata-kata itu; kata-kata yang aku ingat dari bacaanku dulu, dan juga kata-kata yang belum pernah sekalipun aku ceritakan kepadamu. “Kata-kata” barangkali akan terdengar seperti sesuatu yang menurutmu termasuk ke dalam “teori”, “pengetahuan”, atau segala hal yang aku hanya bisa dapat dari bacaan-bacaan. Aku tulis itu karena lebih dari satu kali kau bilang bahwa teori tanpa praktek, kenyataan, atau pengalaman adalah sesuatu yang tidak lengkap. Tanpa harus kujelaskan dengan persis perbedaan detil kata-kata itu, aku harus bilang bahwa aku sepakat dengan itu. Tapi aku sendiri adalah manusia yang juga menghadapi kenyataan dan punya pengalaman. Kalau kau mengatakan itu (disadari / tidak disadari) dengan nada yang mengesankan bahwa seolah-olah jauh lebih baik bicara tentang kenyataan dan bahwa pengalaman itu nomor satu, maka inilah saatnya ingin kuceritakan kepadamu sebuah sisi yang mungkin belum kau lihat sama sekali.

Kita hidup dengan membuat pilihan-pilihan. Hidup ini sendiri bahkan terdiri dari begitu banyak pilihan, meskipun ada saatnya kita akan terdorong untuk mengatakan bahwa kita sama sekali tidak punya pilihan lain, yaitu ketika hanya ada satu-satunya alternatif di hadapan kita. Tapi meskipun kita berada dalam keadaan itu, kita masih bisa memaknainya sebagai tindakan memilih juga, yaitu apakah kita akan memilih atau tidak memilih sama sekali. Ini bukanlah sesuatu yang baru. Pasti sudah ada banyak orang yang mengatakan hal yang sama, entah dengan nada yang arogan karena seseorang punya kemewahan dengan begitu banyak pilihan, atau entah dengan kesan bahwa ia sok optimis, padahal yang sebenarnya ia sama sekali tidak punya kuasa untuk mengendalikan kenyataan yang akan terjadi. Yang jelas, sudah lama diam-diam aku sepakat dengan judul tulisan ini: ketika kita membuat pilihan, maka pilihan kita juga menunjukkan apa yang baik pula buat orang-orang lain.

Kita pasti akan memilih yang baik untuk diri kita. Kau bisa mengartikan apa saja untuk kata ‘baik’ di situ. Apakah baik itu bisa berarti yang cocok, yang mengenakkan, mengenakkan, menguntungkan. Pokoknya, kita tidak pernah memilih yang buruk. Pada saat yang sama, sebenarnya itu juga akan sekaligus menunjukkan apa yang kita anggap baik pula bila orang lain berada pada posisi, situasi, dan kondisi yang sama dengan kita. Jangan salah mengerti, sayang. Memang betul orang lain mungkin tidak akan pernah berada dalam posisi, situasi, dan konsisi yang persis sama dengan kita suatu saat. Maksudku, ketika kita memilih, kita juga sudah sekaligus menunjukkan pandangan dan penilaian kita mengenai sesuatu hal. Pandangan dan penilaian itulah yang pada saat yang sama menjadi citra kita tentang bagaimana manusia itu sebaiknya bila berada pada posisi, situasi, dan kondisi yang sama.

Orang boleh jadi akan terburu-buru bilang kok sepertinya aku itu tidak mau mengerti bahwa tidak jarang kita itu memilih atau memutuskan sesuatu karena perasaan saja, bukan karena pertimbangan matang. Terlebih lagi, kita suka memutuskan sesuatu tentang diri kita harus begini atau begitu, meskipun di dalam hati kita itu tahu bahwa keputusan kita itu sebenarnya salah, sama sekali tidak baik, atau bahkan jelas-jelas merugikan orang lain. Bukankah manusia itu tidak sempurna ? Betul. Tapi justru di situlah intinya. Manusia itu bukan ‘batu’.

Bukan ‘batu’, aku bilang. Bukan pula sebuah monumen. Maka dari itu agak menggelikan buatku kalau mendengar seseorang yang masih hidup membuat biografi, karena buatku yang pantas untuk dibuatkan biografinya adalah seseorang yang sudah mati. Tak ada seorang manusia-hidup pun yang pantas membuat biografi kecuali kalau orang itu mau puas dengan sebuah biografi yang tidak lengkap, atau sebuah biografi-biografian. Kita, menurutku, selalu dalam keadaan bisa untuk memperbaiki biografi diri kita sendiri. Oleh karenanya, apa yang bisa kita katakan tentang orang yang sudah memilih / memutuskan sesuatu tentang dirinya sendiri tapi pada saat yang bersamaan ia tahu bahwa itu adalah keputusan yang tidak baik atau salah sama sekali ? Manusia tidak bisa divonis terburu-buru seperti, …. Kalau begitu, ya memang begitu lah dia. Tidak. Tidak sama sekali. Seperti aku bilang, kita selalu berada dalam posisi di mana kita bisa memperbaiki biografi kita sendiri. Maka seperti apakah seseorang itu, tidak akan pernah bisa kita katakan sebelum kita melihat apa yang akan dia lakukan dengan keputusannya dan kesadaran tentang nilai keputusannya itu; apakah itu menurutnya keputusan yang baik atau buruk. Tapi bahkan aku juga mau bilang, kita mungkin tidak akan pernah tahu seperti apa dia sebenarnya, Manusia yang bagaimanakah dia, …. Sebelum dia mati. Karena sesudah dia melakukan satu perbuatan (yang berasal dari suatu pilihan), kita bisa bayangkan dia untuk kemudian melakukan pilihan lain, yang mungkin menjadikan warna baru bagi orang lain untuk menilainya sebagai seorang manusia, entah perbuatan itu perbuatan yang baik atau yang buruk. Begitu seterusnya. Begitulah manusia. Jadi, kalau kita sudah mati, barulah kita menjadi ‘batu’ itu.

Mungkin aku akan terdengar seperti orang yang terlalu rumit. Tapi sebenarnya tidak, sayang. Aku justru sebenarnya perlu banyak berkata-kata seperti ini agar bisa menjadi lebih mudah dimengerti. Tidak selamanya apa yang ada dalam perilaku kita sehari-hari adalah sesuatu yang mudah-mudah saja. Kelihatannya mungkin memang banyak yang remeh atau gampang, tapi sebenarnya sering di baliknya ada sesuatu yang sungguh bernilai. Kita mungkin luput untuk menyadarinya karena kita membiarkan diri kita hanyut oleh arus perasaan kita sendiri. Baru ketika arus itu reda, kita mungkin merasa terdampar dan kaget mendapati diri kita ternyata begini atau begitu. Mungkin juga selama ini kita bisa berpikir bahwa kita itu baik-baik saja, dan menganggap bullshit semua omongan jelek orang tentang diri kita, tapi bisa jadi kemudian ada celah-celah yang kita temukan dalam diri kita sendiri yang membuat kita tersenyum kecut, karena ternyata mereka bukannya tidak punya alasan untuk semua itu. Aku tak mau hal seperti itu seolah seperti bom waktu. Aku tak mau hanya tinggal menunggu saatnya saja sebelum semua itu terjadi. Itu sebabnya aku menuliskan ini.

Kalau aku ingat-ingat lagi pengalaman hidupku, mungkin sudah cukup banyak orang yang kutemukan membiarkan dirinya berkubang dalam keputusan yang buruk, tapi ya tetap menjalaninya terus. Aku tidak mau mengatakan bahwa hidup itu sederhana. Orang-orang yang sok bijaksana sering mengatakan itu. Soalnya yang sebaiknya dikatakan adalah, ‘hidup itu rumit dan sulit, tapi marilah kita jadikan sederhana.’ Ya memang hidup itu seperti itu. Banyak yang sulit dimengerti, apalagi kalau kita hanya menilainya dari luar. Tapi kembali lagi ke yang tadi aku katakan. Manusia bukan batu, manusia selalu bisa terus menerus memperbaiki diri. Merusak dirinya, mencemari dirinya, membodohi dirinya, tapi ya kemudian bisa memperbaikinya lagi, membuyarkannya lagi, dan seterusnya. Ada juga yang tetap bertahan dalam posisinya dan mungkin terkesan membela keputusannya. Tapi dalam hatinya menjerit bahwa ia ingin keluar dari situ. Ia ingin menjadi baik-baik. Ia bahkan sekilas mengesankan citra yang religius, tapi tak ada sesuatu yang riil dilakukan. Semuanya segera tenggelam lagi oleh hari-hari dan peristiwa-peristiwa baru yang menyertainya. Aneh ya. Untuk semua itu, suka kubayangkan bahwa di balik sosok yang terlihat dewasa sebenarnya bersembunyi seorang anak kecil. Seseorang mungkin selamanya adalah seorang anak kecil, hanya ia terperangkap ke dalam tubuh yang dewasa.

Maka bila seorang lelaki yang memiliki seorang istri memutuskan untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain, itulah gambaran tentang apa yang dianggap baik olehnya. Untuk sementara, kita bisa menilai dia sebagai ini atau itu. Ingat bahwa selalu ada kesempatan kedua bagi seseorang sebelum seseorang menjadi batu. Tapi pada saat itu, ia juga menunjukkan anggapan-anggapannya tentang yang baik dan yang buruk, yang secara konsekuen harus ia jalani. Maksudku, misalnya ia kemudian menasihati seseorang untuk tidak selingkuh dengan orang lain. Apa nilai dari ucapannya itu kalau dia sendiri ternyata tidak melakukan apa yang ia nasihatkan ? Misalnya lagi, ia marah-marah karena mendapati anaknya sendiri menjalin hubungan rahasia dengan istri orang. Apa dasarnya ia jadi marah-marah ? Bukankah ia sendiri melakukan hal yang sama ? Tapi kita sama tahu bahwa banyak orang seperti itu. Banyak orang membiarkan hal buruk terjadi dalam dirinya sementara di hadapan orang lain ia merasa harus mengatakan hal yang sebaliknya dari yang ia lakukan sendiri. Itulah alasan sebenarnya aku bicara soal anak kecil itu tadi. Aku sering merasa menemukan seorang anak kecil yang merengek dan merajuk, tapi ia terperangkap ke dalam tubuh dewasa, sehingga yang kita lihat adalah perilaku-perilaku yang mungkin aneh dan tidak konsisten.

Soalnya, gimana bisa dijelaskan, kita memilih / memutuskan sesuatu yang baik untuk diri kita, tapi kita pada saat yang sama tidak akan menyarankan pilihan atau keputusan itu pada orang lain ?

Kita mungkin jarang menyadari akibat / implikasi dari pilihan / keputusan terhadap diri kita sendiri. Karena kita tidak hidup sendirian, maka bahkan keputusan yang kita ambil tentang diri kita sendiri mungkin akan bisa punya pengaruh pada orang lain, pada Kemanusiaan.

Sayangku, apakah mencintai seseorang juga sebuah pilihan ? Kita semua ingin saling mencintai dan dicintai. Tetapi kita tidak ingin melakukannya dari balik kedewasaan palsu yang sebenarnya adalah jeruji penjara. Mari kita lepaskan topeng-topeng kita. Selalu masih ada waktu, sebelum kita menjadi batu.

*) Terinspirasi kata-kata dari Jean-Paul Sartre pada artikelnya “Existentialism & Human Emotions".

Soulmate & Kemanusian Kita Yang Sumpek

Hubungan antara manusia dengan manusia lain atau dengan lingkungannya pada dasarnya tidak berstruktur, tidak bergradasi. Manusia lah yang membuat struktur atau gradasi itu. Barangkali pada level pemikiran tertentu ini akan menimbulkan kesan bahwa banyak relasi-relasi itu sebenarnya artifisial belaka. Namun di antara peneguhan-peneguhan yang sifatnya adikodrati (atau a-manusiawi), kita mesti mahfum bahwa banyak dari struktur (atau sistem) dan gradasi itu sebenarnya merupakan penegasan dari kemanusiaan kita sejalan dengan usia kemanusiaan itu sendiri, yang telah banyak belajar dari kesalahan-kesalahan. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin masih ditemukan adanya sesuatu yang baru di dalam Kemanusiaan yang telah melembaga itu ?
Itu adalah pertanyaan yang bisa kita ajukan dari 'luar'. Bila pertanyaan itu kita ajukan dari 'dalam', maka bunyinya adalah apakah di antara konsep, institusi, dan kiprah kemanusiaan ini ada jalan keluar bagi rasa sumpek dan jenuh dengan batasan-batasan kemungkinan yang ada ? Saya pikir pertanyaan ini bukanlah hal baru. Pasti sepanjang sejarah umat manusia telah banyak tercatat notion yang sama, tapi dengan pengungkapan dan aktualisasi yang berbeda-beda. Tapi nampaknya kecenderungan ekspresi ke arah sana lebih besar pada era informasi ini, di mana keterbukaan telah menjadi alasan bagus untuk merekonstruksi apapun yang selama ini dianggap sudah mapan.
Sebelum itu semua berjalan terlalu jauh, atau dijadikan pembenaran bagi niatan-niatan yang tidak bertanggungjawab, harus dibatasi dulu, bahwa apapun yang namanya rekonstruksi, pemikiran ulang, atau praktek-praktek apapun yang tidak dapat diakomodasi begitu saja oleh peradaban sosial sekarang ini haruslah punya kriteria bahwa itu harus memajukan Kemanusiaan kita. Ini lebih gampang dituliskan (diomongkan) daripada dipraktekkan. Soalnya, segala sesuatu yang sudah mapan dan melembaga itu pasti punya mekanisme untuk mempertahankan, memproteksi dirinya agar tidak ada kekuatan-kekuatan yang akan mendelegitimasi apa yang sudah berjalan. Sementara itu, manusia-manusia yang hidup dalam kemapanan dan lembaga itu telah menyesuaikan dirinya dengan mekanisme proteksi itu, sehingga bukan hanya lembaga itu per se yang akan memberikan resistansi, tapi juga secara aktif manusia yang menghidupi lembaga itu akan memberikan perlawanan. Singkat kata, bila kita merasa sumpek dengan struktur atau gradasi peradaban yang melingkupi kita, kita harus siap untuk hidup, sekurangnya, dalam dua dunia.
Dua dunia ? Ya! Dunia yang real, yaitu dunia di mana ada orang-orang lain yang hidup bersama kita, yang tenggelam dalam struktur dan gradasi itu, dan dunia yang kita hayati secara subyektif, di mana aspirasi-aspirasi kita yang reformatif itu tidak bisa begitu saja menemukan jalan bagi perwujudannya. Hanya tinggal masalah waktu saja hingga akhirnya orang-orang yang gelisah untuk menjadi seperti itu. Memang tidak semua orang bisa terpuaskan dengan lingkungan di mana dia hidup, tapi bagi orang yang seperti ini, mereka harus siap untuk akhirnya menjadi berbeda dengan lingkungan. Saat seseorang menyadari itu, maka survival-nya menjadi kritis. Kecuali ia punya kemampuan bunglon yang sangat baik, di mana ketika berhadapan dengan orang-orang pada umumnya ia memakai topeng, dan ketika ia sendiri atau dalam lingkungan yang apresiatif ia bisa menjadi dirinya sendiri. Saya bilang kritis, karena akan ada saatnya orang itu menjadi lelah dan sebal dengan topeng yang dikenakannya. Mungkin sekali dua tiga, ia akan membuka topengnya, atau topengnya akan terbuka sendiri, dan pada saat itu orang mulai mempertanyakan kembali jatidirinya.
Kalau kita batasi pemikiran itu pada konteks interpersonal, apakah yang kita alami sekarang ini sudah memuaskan ? Apakah struktur dan gradasi yang mengatur hubungan kita dengan orang lain itu sudah memberikan fasilitasi sepenuhnya terhadap kemanusiaan kita ? Aduh, sayangnya harus saya jawab 'belum'. Dengan tetap memberikan penghargaan pada segala sesuatu yang sudah mapan pada peradaban ini, saya melihat bahwa orang banyak melakukan improvisasi. Ada yang disebut perkawinan (hubungan suami-istri), persahabatan, partner, kolega, kawan / teman, .... dan ternyata istilah-istilah yang diciptakan manusia belum cukup untuk menggambarkan apa yang mungkin bisa terjadi dalam konteks interpersonal sekarang ini. Bagaimana misalnya dengan, seorang istri yang masih membutuhkan teman dekat, sementara ia masih menyatakan setia dengan suaminya ? Bagaimana dengan persahabatan antara lelaki dan perempuan, tapi level hubungan mereka sampai ke hal-hal yang bersifat seksual ? Atau, bagaimana dengan hubungan dengan sesama yang seharusnya rasional, tapi kompromistis dengan kemungkinan-kemungkinan ke arah hubungan yang romantik ? Bagaimana pula dengan hubungan dengan rekan kerja, tapi yang bersangkutan mensuplai informasi bagi pesaingnya ? Termasuk dengan hubungan yang sifatnya homoseksual, baik diantara laki-laki (gayisme) maupun perempuan (lesbianisme). Last but least, bagaimana dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bisa tidak memiliki ciri apapun dari semua konsep hubungan yang ada ? Atau yang justru memiliki ciri dari semua itu ?
Pasti akan ada yang segera berkata bahwa sebaiknya kita tidak terjebak dengan istilah / konsep. Tapi justru di situlah masalahnya. Siapkah kita hidup dalam dua dunia itu tadi ? Sekurangnya, siapkah kita menyimpan rahasia atau tidak mengungkapkan dengan sejujurnya hakikat hubungan kita dengan seseorang pada lingkungan sosial kita ? Ini juga termasuk pertanyaan, apakah kita punya kontingensi bila suatu ketika topeng kita terbuka, rahasia 'kecil' kita terungkap, atau jatidiri kita dipertimbangkan kembali oleh orang lain ? Tapi eh, apakah yang saya tulis ini hanya relevan pada orang-orang yang progresif, kritis, atau sumpek pada tatanan yang ada sekarang ini ? Apakah tidak mungkin ini juga berlaku pada orang-orang di jalan (the people in the street) ?
Ya tanyakan saja pada diri sendiri. Apakah salah satu dari pasangan yang telah mapan dalam institusi karpet merah itu tidak pernah meleng pada orang lain ? Apa sih sebenarnya kesetiaan itu ? Apakah kesetiaan itu harus mengorbankan impuls-impuls yang muncul dalam diri untuk beralih ke orang lain ? Atau bagaimana sebenarnya mensiasati ini agar apa yang telah mapan tidak jadi rusak ? Yang jelas, kalau itu terjadi, berarti lembaga itu memiliki kebobrokan di dalam, alias ada sesuatu yang tidak dipelihara sehingga bisa ada rasionalisasi-rasionalisasi yang diciptakan untuk adanya improvisasi yang menyinggung kemapanan yang ada. Wong yang namanya lembaga. Siapa yang salah ?
Lalu suatu malam saya menerima sms yang nampaknya salah alamat. Ada kata 'soulmate' di dalamnya, yang jelas tidak mungkin diarahkan pada seseorang yang tidak akrab, tapi juga mustahil ditujukan pada seseorang di dalam lingkaran significant other. Apapula 'soulmate' itu ? Bukan sebuah kata yang menunjukkan konsep yang begitu saja akan acceptable dalam tatanan dalam kelembagaan sosial kita. Apalagi bila masing-masing dari orang yang terlibat telah berada secara resmi dalam sebuah 'lembaga' yang telah diakui secara sosial. Apa itu 'soulmate' ? Siapa yang berani mendefinisikan ? Apakah kita semua membutuhkan 'soulmate' ?

Dunia Dari Sudut Pandang Seks Yang Berbeda

(Tulisan ini dibuat pada tanggal 05 September 2005)

[didedikasikan untuk para multiplier dan blogger cewek yang curhat tentang laki-laki di Internet :) ]

Sudah cukup saya banyak mendengar dan membaca pengalaman dari perempuan yang mengalami perlakukan tidak adil dari laki-laki. Mulai dari sekedar yang terjadi di hubungan interpersonal biasa, sampai pada hubungan suami-istri yang jatuh jadi hubungan yang abusive. Tidak kurang saya dengar juga adalah dari media massa, terutama televisi. Siapa yang tidak tahu soal banyaknya skandal rumah tangga di kalangan selebritis ? Dari semua itu, saya melihat bahwa sangat mudah jenis kelamin laki-laki digiring untuk mendapatkan citra sebagai pihak yang salah, pihak yang lebih sebagai penyebab, daripada sebagai korban.

Sejarah panjang umat manusia yang panjang itu pasti sudah mencatat secara statistik bahwa laki-laki memang lebih banyak membuat gara-gara dalam masalah cinta. Dimulai dari anggapan bahwa laki-laki itu lebih berkuasa, perkasa, dominan, apalagi dalam rumah tangga adalah pihak yang biasanya mencari nafkah sehingga secara ekonomis lebih superior, dan oleh karenanya perempuan menjadi subordinat darinya. Maka pelecehan, kekerasan, dan segala yang abusive lainnya akan menjadi iminen untuk terjadi. Tidak mengherankan kalau akhirnya tinggal menjadi kepastian bahwa di era informasi ini lalu ada inisiatif untuk membentuk organisasi pemberdayaan perempuan, termasuk komisi anti kekerasan terhadap perempuan. Istilah feminisme lalu menjadi sangat stereotipik untuk perempuan. Apakah tidak mungkin seorang laki-laki menjadi seorang feminis ? Pertanyaan ini saja sudah pasti aneh kedengarannya.

Sebelum ada yang bilang bahwa 'this is just another male chouvinist pig blunder' atau bahwa keberpihakan gender saya tidak jelas, saya mau buru-buru mengatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama manusia. Jadi, apa konsekuensi dari saya mengatakan ini ? Jelas, bahwa keduanya sama-sama juga punya potensi untuk ngaco. Saya harus bilang ini soalnya diskursus populer tentang gender itu, misalnya, sudah sering terlanjur untuk menjadi sangat tipikal untuk diam-diam mengasumsikan bahwa fokus masalahnya adalah pada perempuan sebagai korban atau objek. Oke, pasti ada kekaburan di situ sebagai excuse. Maksudnya, tidak terlalu ditegaskan juga bahwa pasti laki-laki adalah womanizer dan perempuan adalah korban, tapi lihat saja lanskap diskursusnya secara keseluruhan. Saya ulangi pertanyaan tadi, "apakah tidak mungkin laki-laki menjadi seorang feminis ?"

Intinya saya mau mengatakan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban perempuan. Kenapa tidak ? Hanya karena yang muncul ke permukaan itu lebih sering perempuan yang jadi korban, apakah tidak mungkin laki-laki mendapatkan pelecehan dari perempuan ? Bisa dan sangat bisa. Dalam rangka itu kayaknya pemahaman kita soal kekuatan, kekuasaan, superioritas, machoisme, dan kata-kata sifat lain yang biasanya atributif ke laki-laki harus dimodifikasi sedikit. Pertanyaannya di sini, apakah survival dalam hidup itu hanya bisa didasarkan pada dimensi yang maskulin belaka ? Sudah lama Jung (1875-1961) punya konsep tentang anima dan animus; bahwa dalam diri seseorang harus ada karakteristik perilaku yang feminin dan maskulin dalam proporsi yang wajar, dan equilibrium akan terganggu kalau salah satu karakteristik itu lebih mendominasi dari yang lain, yang keluar dari proporsinya yang sehat.

Nah, sekarang bagaimana persisnya perempuan bisa melakukan itu ke laki-laki ? Mungkin secara garis besar ada dua macam; satu yang memanfaatkan persepsi umum tentang wanita (yang lemah, feminin, dst) dan yang mengatasi persepsi itu atau yang terjadi melalui suatu munculnya sebuah masalah yang subyektif. Kiranya tidak bisa hal itu dipisah secara tegas. Pada kenyataannya keduanya saling bercampur. Tapi entahlah, di samping argumentasi yang 'obyektif' tentang sebuah masalah, sepertinya kalau laki-laki mungkin akan lebih tampil dengan kesan 'power' atau kuasa yang dimilikinya, sedangkan perempuan lebih maju dengan mengedepankan kenyataan bahwa ia adalah 'korban' sementara ia merujuk pada sebuah wacana umum bahwa menjadi korban adalah tidak adil atau tidak manusiawi. Tentu ini juga bukan sebuah generalisasi. Bisa saja terjadi, perempuan lebih mengedepankan 'kuasanya', kharismanya, bahkan mungkin kekuatan fisiknya (!), tapi apa yang terjadi kalau yang sebaliknya terjadi pada laki-laki ? Laki-laki jelas akan berada dalam posisi yang sangat terpuruk.Ini kok mirip dengan analogi pada pakaian. Laki-laki dan perempuan punya ciri busananya masing-masing; tapi perempuan bisa mengenakan banyak busana yang
berciri maskulin dan akan masih bisa diterima sebagai wajar; tapi tidak demikian halnya bila laki-laki mengenakan busana yang feminin. Di sini kok kesannya, bargaining position perempuan itu lebih besar dari laki-laki.

Saya ingat sebuah point bacaan dari wacana pasca kolonialisme. Katanya, selemah apapun pihak yang dianiaya, atau sekuat apapun kuasa yang dimiliki si penganiaya, tetap saja sebenarnya pihak yang lemah memberikan perlawanan, dan perlawanan itu harus dimulai dengan tidak menegaskan diri kita sebagai lawan. Secara filosofis, setiap subjek pasti punya objek. Bila seorang subjek memiliki intensi yang relasional kepada objek dan diterima oleh objek itu, maka objek itu akan meneguhkan dirinya dalam relasinya kepada subjeknya itu ? Pusing ? He, he .... ya dalam konteks ini, rasanya kok saya ingin mengajak berpikir bahwa setiap ada masalah yang berkaitan dengan relasi laki-laki perempuan, marilah kita lihat masalahnya tidak dengan sudut pandang yang dikotomis, tidak dengan cara yang membuat polarisasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan adalah sama manusia. Dan menurut saya feminis adalah sebuah kata sifat yang bisa juga ditujukan ke laki-laki. Meski gimana pengejawantahannya, saya harus mikir dulu .... :)

Ketika Romeo terlihat lebih banyak membawa barang di stasiun daripada Juliet, apakah kita bisa menyimpulkan Romeo mencintai Juliet ? Kenapa tidak sekali-kali berpikir bahwa Juliet memanfaatkan cara berpikir Romeo supaya dia tidak capek-capek ? Atau .... dalam konteks di mana lampu sering dimatikan, ketika Romeo lah yang lebih aktif dan berpikir aktifnya itu menunjukkan kemachoannya, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa Romeo telah membahagiakan Juliet ? Kenapa kita tidak membalikkannya sekali-kali ? Juliet bisa pasif, dan memanfaatkan persepsi tentang verilitas laki-laki, karena dengan begitu dia bisa tidak keluar usaha dan tenaga terlalu banyak, sementara ia sendiri bisa lebih menikmati ?

Saya mulai curiga, jangan-jangan di balik atribusi semua kata sifat tentang laki-laki yang menunjukkan keunggulannya dibanding perempuan itu sebenarnya adalah jebakan!

Handphone dan Irasionalitas Gaya

(Tulisan ini saya buat tanggal 6 September 2005)

Saya tidak pernah memikirkan ini sungguh-sungguh, sampai suatu ketika ada beberapa peristiwa yang terjadinya agak berurutan, yang menginspirasi saya. Semuanya berhubungan dengan bagaimana orang hidup dengan perangkat komunikasi yang populer sekarang ini, yaitu HP. Di Indonesia dan beberapa negara Asia, alat itu disebut handphone, tapi di Eropa orang menyebutnya Cell Phone.

Hampir semua orang sekarang punya alat yang satu ini. Kehadirannya sebagai sebuah perangkat teknologi cukup mengagumkan, karena kini banyak orang merasa tidak lengkap kalau bepergian tidak membawanya. Saya bilang mengagumkan karena proses difusi barang ini sampai kepada taraf identifikasi kebutuhan orang, bahkan hingga penciptaan kebutuhan. Maksud saya, dengan adanya HP, orang ditawari sebuah solusi komunikasi, di mana akhirnya ada cara untuk mengontak seseorang secara langsung di manapun orang itu berada (sejauh masih dalam jangkauan BTS). Bukan hanya itu, kehadiran HP juga menciptakan kebutuhan baru. Artinya, bisa terjadi bahwa orang yang tadinya tidak membutuhkan alat itu, akhirnya jadi merasa butuh juga. Kejadian ini barangkali hampir analog dengan apa yang terjadi ketika hari-hari pertama televisi menjadi populer. Semua orang akhirnya merasa itu adalah sebuah kebutuhan dalam keluarga.

Lalu mengapa saya menghubungkan ini dengan irasionalitas ? Bahwa kini HP sudah menjadi piranti gaya, banyak orang yang sudah maklum. Tapi saya mau bilang bahwa ujung-ujungnya orang menjadi tidak rasional lagi dengan keputusannya untuk membeli alat ini. Dulu pernah ada masanya bahwa bila orang memiliki HP yang ukurannya agak besar, orang itu mungkin akan merasa minder karena besarnya HP identik dengan tidak fleksibelnya barang ini. Orang ada yang mencibirnya sebagai remote control, bahkan batu bata :). Aneh memang. Entah kapan trend semacam itu berakhir. Yang jelas, dari sejak kemunculannya hingga kini Nokia seri 9, yang ukurannya lebih besar dari rata-rata, adalah HP yang malah cukup bergengsi. Mungkin karena harganya yang tidak murah, mungkin juga karena teknologi yang ada di dalamnya (?), tapi mungkin juga karena sorotan televisi pada selebritis selalu menyempatkan fokus pada mereka yang sedang menentengnya. Saya kira ini adalah awal irasionalitas yang saya maksud. Awalnya benda ini adalah alat komunikasi, tapi lalu berubah jadi piranti gaya dan gengsi. Orang barangkali bisa tidak peduli apakah ia sering ditelpon atau tidak. Yang penting dengan memiliki HP, apalagi yang ukurannya kecil, orang berpikir bahwa gengsinya meningkat.

Masa di mana orang pamer HP dengan ukuran kecil jelas sudah lewat. Sekarang, irasionalitas itu berubah. Awalnya adalah sebuah pergeseran permaknaan dari alat komunikasi ke piranti gaya dan gengsi. Kini yang saya lihat, yang terjadi lebih patetik lagi. Meski sebenarnya HP masih diperlakukan dengan cara yang sama, tapi kini orang bisa tidak peduli dengan teknologi yang ada pada alat ini. Jadi, sebagai piranti gengsi itu masih berlaku, tapi kini ketika ukuran dan berat HP menjadi semakin kecil dan ringan, serta teknologi yang ada di dalamnya semakin canggih, orang bisa tidak peduli dengan harganya, yang tentu ditetapkan antara lain berdasarkan jumlah teknologi yang ada padanya. Yang penting adalah dengan menenteng HP keluaran terbaru dengan bentuk yang ergonomis futuristik, serta kecanggihan yang mencengangkan, rasa percaya diri bisa terangkat. Akan tetapi yang bersangkutan menggunakan HP itu mungkin hanya untuk menelpon, mengirim SMS, dan paling banter adalah .... memotret!

Saya menulis begini bukan dengan asumsi bahwa saya sudah melakukan sensus, tapi kalau saya ingat-ingat lagi ke belakang, ternyata memang ada segolongan orang yang seperti itu. Kalau uang bukan masalah, ya semuanyapun tidak jadi soal, tapi yang saya lihat justru adalah adanya orang-orang yang menggunakan HP yang jenis, kelas, dan harganya tidak sesuai dengan bagaimana kiprah orangnya secara sosial. Err, maksud saya, misalnya, seorang mahasiswi yang nampaknya hidupnya pas-pasan dan belum bekerja, tapi kok bisa saya pergoki menenteng SonyEricsson P910i? Dan dugaan saya pun benar ketika saya tanyakan apakah dia menggunakan GPRS atau bluetooth di situ. Saya malah bisa membuat dia terheran-heran karena bisa mengirim pesan ke HPnya tanpa saya tahu nomer HPnya. (Ini adalah yang disebut dengan Bluejacking, yang akan saya jelaskan pada tulisan lain).

Bluetooth, itu baru satu hal. Sebut saja teknologi yang kini ada (atau 'dibenamkan' - kiasan para redaktur majalah HP yang kini jadi terdengar tidak orisinil lagi) pada HP keluaran terbaru: Infrared, GPRS, WAP, Push Email, Integrated PDA, MP3 player, radio FM, Kamera (dengan megapixel yang semakin tinggi), bahkan video recorder. Pertanyaan kritis yang bisa diajukan para pembeli HP sekarang ini adalah apakah mereka membeli HP dengan teknologi yang mereka butuhkan ? Memang, di kalangan para advertiser ada semacam permakluman bahwa orang bisa membeli suatu barang bukan karena ia membutuhkan, tapi karena faktor lain yang justru di luar nilai intrinsik barang itu. Iya, tapi masalahnya di sini kita tidak sedang berbicara tentang bahan kebutuhan yang konsumtif, tapi sebuah teknologi, atau mungkin barangkali sebuah aset. Lebih penting lagi sebenarnya, kita berurusan dengan tingkat apresiasi publik pada teknologi. Kalau publik hanya membeli HP sebagai piranti gengsi dan tidak terutama pemenuhan kebutuhannya yang rasional pada teknologi, maka kalau tidak ini semakin menegaskan kita ini masih represif-neurotik pada impuls-impuls defektif pasca kolonial, ya kita ini tidak memajukan kemungkinan interaksi yang peluangnya disodorkan oleh teknologi itu.

Memang sampai kapanpun kita tidak akan bisa mengharapkan bahwa yang namanya gaya akan bertolak dari sesuatu yang rasional. Tapi gimana tidak neg, ketika suatu ketika saya diundang ke rumah seorang teman karena dimintai tolong soal komputernya, dan di depan saya dia dan istrinya berdebat soal mana HPnya yang lebih mahal. Sang suami pake O2 dan si Istri pake Nokia 9500. Sementara HP di kantung celana saya adalah Siemens ME45!

Konvergensi-Interaksi Internet Terputus di Telpon Pra-Bayar ?

(Ini adalah tulisan yang saya buat pada November 2005)

Akhirnya muncullah kebijaksanaan pemerintah itu, karena sudah terlalu seringnya beredar sms yang isinya menghasut di sana-sini. Hampir semuanya berkaitan dengan SARA; di Poso, Bali, dan last but not least, Jakarta. Selebihnya ya sms soal hadiah undian palsu, yang kalau kita jabanin ujungnya pemerasan / penipuan itu. Kita pengguna telpon selular yang pra-bayar diwajibkan untuk melengkapi kepemilikan hp dan nomernya dengan identitas kita. Apakah ini sesuatu yang harus kita terima begitu saja ? atau ada sesuatu yang harus kita cermati ?

Kegunaannya jelas. Buat orang kebanyakan, mungkin kita tidak akan resah lagi dengan sms liar dan gosip yang tidak-tidak. Buat pemerintah, akan sangat mudah untuk melacak orang yang punya niat jahat menyebarkan hoax atau info yang menghasut. Akan tetapi kita sama tahu bahwa sekarang ini telpon selular tidak saja digunakan untuk menelpon dan sms, tapi juga koneksi internet. Yang kepikir di saya adalah, apakah langkah pemerintah ini suatu saat nanti akan berkembang misalnya, dengan mewajibkan semua pemilik email (dan pengguna Internet pada umumnya) untuk mendaftarkan identitasnya ke pemerintah ?

Kita sama tahu ada jauh lebih banyak ragam informasi yang beredar di Internet dan yang menjadi hakim bagi kebenarannya adalah kita sendiri. Banyak yang berguna dan benar, tapi tidak sedikit pula yang junkies, palsu, bahkan menghasut. Kenapa dalam hal ini Internet tidak disasar pemerintah ? Apakah karena alasan hp itu lebih portable dan memasyarakat ? Apakah ada asumsi bahwa info yang beredar di Internet itu tidak akan menyebar ke masyarakat luas ?

Fenomena Internet sudah merambah ke berbagai bidang. Hampir semua media dan medium yang ada akhirnya punya kepentingan dengan Internet, bahkan memiliki ekstensinya dengan Internet. Ini yang ditajuki dengan konvergensi itu. Jelas, telpon selular adalah salah satu medium komunikasi yang tidak dapat dikecualikan di sini. Makanya soal pendaftaran pemilik telpon selular pra-bayar ini technologically speaking, tidak dapat diisolasikan begitu saja masalahnya hanya demi sebuah gejala masyarakat kontemporer (yaitu sms liar itu).

Ambil contoh, bisa kok secara teknis kita mengirim sms ke seseorang tanpa ada nomor sendernya. Dengan setting tertentu software yang mengatur lalu lintas pesan pada gateway internet-to-sms (atau apalah namanya) bisa dibuat demikian. Memang pengetahuan tentang ini terbatas pada akses dan keahlian seseorang. Tapi bagaimana dengan jasa-jasa gratis mengirim sms dari Internet itu ? Kita sama tahu bahwa melalui Yahoo Messenger kita bisa mengirim pesan ke semua nomor Telkomsel (dan kita bisa mengirimnya dengan Yahoo ID apa saja). Belum lagi jasa-jasa gratis yang lain, …. yang memang sekarang tidak seramai dulu, tapi mungkin saja masih ada (dan bisa akan ada!). Apakah dengan peraturan pemerintah itu Yahoo akan tunduk untuk menyesuaikan fiturnya itu khusus untuk negara yang bernama Indonesia ?

He, he. Kalau ada yang membaca ini, saya ingin pendapat anda. Atau mungkin anda bisa memberi informasi pada saya di milis mana ini ramai dibicarakan ? Ini fenomena Computer-Mediated Communication (CMC) dan saya merasa berkepentingan.

Semantik Fundamentalisme (bagian I)

(Ini adalah tulisan yang saya buat tanggal 1 Agustus 2005)

Sudah lebih dari dua kali saya mendengar orang menjelaskan tentang apa itu fundamentalisme. Dikatakan bahwa menjadi fundamental adalah perlu bagi setiap pemeluk agama. Karena hanya dengan begitu orang mencapai dasar (fundamen) dari apa yang diimaninya. Kata yang hampir sama juga mendapat penjelasan yang mirip: fanatisme. Kita harus fanatik dengan apa yang kita imani karena bla, bla, bla. Yang mengherankan dari kecenderungan penjelasan ini adalah orang sudah lupa bahwa tidak ada hubungan natural antara sebuah istilah dan apa yang ditunjuknya. Dalam bahasa linguistik ini dikatakan dengan, "sebuah signifier bukan merupakan representasi obyektif dari sebuah signified." Akibatnya adalah bahwa orang jadi terpaku pada istilah, dan apa yang terjadi pada realitasnya menjadi nomor dua.

Jadi yang mau saya katakan adalah apa yang sebenarnya ditunjuk oleh kata fundamentalisme itu. Mungkin orang-orang yang memberi nama itu pada awalnya punya agenda tertentu, sehingga orang-orang yang berkepentingan dengan denotasinya merasa harus membela diri. Akan tetapi bukankah kita selalu bisa untuk menyelidiki apa yang sebenarnya ingin ditunjuk oleh orang yang mengatakannya ? Ya jelas! Orang menggunakan kata fundamentalisme untuk menunjuk pada sikap-sikap yang ekstrem, hitam putih, tidak toleran, tidak kompromi, dan segalanya yang asosiatif. Kenyataan hidup kita menunjukkan bahwa ada beberapa di antara kita yang entah terang-terangan atau diam-diam memiliki sikap seperti itu. Kita memang bebas. Bahkan bebas untuk bersikap apa saja terhadap apa saja. Tapi tidak selamanya sikap itu hanya seperti sebuah rahasia abadi yang tidak akan terungkap. Pasti akan ada saatnya sikap itu menjadi tidak kasat mata dan kasat rasa bagi orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah fundamentalisme adalah sesuatu yang memadai untuk dijadikan dasar bagi sikap kita terhadap segala hal?

Andai saja kita hidup di sebuah planet di mana semua orang itu sama dengan sikap yang kita miliki. Tapi sayangnya itu tidak mungkin. Kenyataannya adalah kita hidup di dunia yang isinya beragam orang dengan beragam sikap. Bagaimana mungkin kita hidup di dunia semacam itu dengan ancangan bahwa apa yang kita yakini adalah yang paling benar di antara yang lain ? Barangkali itu akan aman-aman dan baik-baik saja kalau disimpan dalam hati, tapi kalau sudah menyangkut hubungan sosial kita, bukankah itu sama dengan detik mundur bagi meledaknya sebuah bom waktu?

Saya punya seorang teman yang berlangganan seorang tukang kebun. Ia memuji tukang kebun itu karena pekerjaannya rapih dan dia selalu jujur dengan perilakunya. Ia bercerita pada saya, bahwa suatu ketika ia memutuskan untuk tidak akan pernah memanggilnya lagi. Penyebabnya adalah karena akhirnya dia menemukan tukang kebun itu tidak pernah menjalankan sholat lima waktu.

Balada Seorang Manic Depressive

(Ini adalah tulisan yang saya buat tanggal 28 September 2005)

A
pa yang harus kita lakukan kalau ada orang gila di sekitar kita ? Gila ? Apa itu gila ? Kadang-kadang suka ada yang bilang bahwa hanya ada batas yang tipis antara kegilaan dan apa yang disebut ‘normal’. Kata ‘normal’ itu sendiri lebih sulit. Siapakah yang gila bila dalam sebuah planet ada 99 orang gila dan satu orang normal ? Menurut saya ada level kenormalan dan kegilaan pada setiap orang. Yang jadi masalah adalah apakah orang itu punya kemampuan untuk bisa fleksibel keluar masuk ke salah satunya secara seimbang ? Dan yang paling penting adalah, apakah ia masih bisa berperasaan dan berperilaku dengan cara yang masih dapat diterima oleh orang lain sebagai wajar ? Dengan kata lain, apakah ia masih bisa ‘normal’, masih bisa menyelenggarakan kehidupan sosialnya ?

Kalau sudah begini, akan hanya menjadi rahasia bagi setiap orang tentang bagaimana tentang, katakanlah, ‘fleksibilitas psikis’ itu. Perkecualiannya adalah manakala polisi kenormalan sudah ikut campur. Ya siapa lagi kalau bukan mereka yang dalam bahasa Inggris disebut the shrink, alias psikiater dan psikolog klinis. Bila itu menjadi rahasia, sebenarnya kita akan selalu punya cukup alasan untuk mempertanyakan kondisi orang lain; teman sekantor kita, teman bergaul kita, tetangga, atau siapa saja. Tapi bila kita melakukan itu, selain bukan menjadi sebuah sikap yang praktis, itu juga adalah sebuah paranoia (atau ketidaknormalan tersendiri).Yang sering kita lakukan adalah, kita berpegang pada akal sehat kita: bila seseorang kelihatannya mampu berbicara runtut, masuk akal, bisa dipercaya, ramah, sopan, dan berpenampilan pantas maka kecenderunganya adalah kita akan bisa menerimanya dalam lingkaran sosial kita. Tapi sialnya, kita bisa bertanya, garansi apa yang akan bisa membuat kita tenang bahwa seseorang yang kita hadapi adalah seseorang yang tidak punya patologi psikis dan berpotensi untuk agresif atau merugikan secara sosial ?

Saya terpaksa bertanya seperti itu karena baru saja sesuatu yang buruk terjadi di lingkaran sosial saya, menyangkut seseorang yang untuk sekitar setahun perkenalan saya adalah seorang wanita yang saya nilai sebagai perempuan baik-baik. Saya bahkan sempat menjalin sebuah hubungan bisnis dengannya secara profesional berkenaan dengan instalasi komputer. Segala urusan saya dengan dia hingga bisnis itu selesai berjalan dengan wajar saja. Hingga hari ini saya mendapat kabar yang sungguh mencengangkan, yaitu …. ia masuk tahanan polisi. Sebutlah perempuan ini Mbak Iyut. Ia harus berdiam di sel karena cukup banyak orang yang nyata-nyata dirugikan olehnya. Ternyata ada saatnya si Mbak ini menawarkan peluang bisnis ke sana ke mari dengan mengatakan bahwa ia membutuhkan modal sekian ratus juta dengan keuntungan cepat sekian belas persen. Kenyataannya, ia menggelapkan semua uang itu. Tidak ada bisnis yang berjalan, tidak ada keuntungan. Yang ada adalah penipuan dan sekian puluh korban, dengan total kerugian hingga milyaran. Saya terkejut karena sama sekali tidak menyangka. Saya tidak mengantisipasi sedikit pun bahwa ini akan terjadi pada si Embak. Biasanya saya sangat perseptif, tapi ini kok saya kecolongan.

Mungkin si Embak ini melakukannya dengan sangat halus. Atau mungkin ia masuk ke dalam sub-species homo sapiens seperti yang ada dalam cerita Dr. Jekyll and Mr. Hyde. Entahlah, tapi yang jelas, sebenarnya saya nyaris ikut menjadi korbannya. Malam sabtu kemarin ia menelpon dengan gaya bicara yang tidak biasa. Sebelum-sebelumnya ia menyebut dirinya ‘aku’, tapi kali itu ia menggunakan ‘gue’. Seperti mau mengakrab-akrabkan diri. Ia menelpon karena ingin menindaklanjuti sms yang sebelumnya ia kirimkan, yaitu tentang bisnis yang butuh modal 150 juta. Oh, my God! Untung saya menjawab bahwa saya tidak punya uang sebanyak itu dan saya tidak sanggup. Nada bicaranya biasa-biasa saja, seperti orang normal. Ada bercandanya juga. Tidak terdengar bahwa ia sedang dirundung masalah atau mood-nya sedang tidak bagus. Sesudah telpon itu yang ada pada diri saya hanya rasa heran pada gaya bicaranya itu, tidak ada yang lain. Yang selanjutnya saya tahu, ia sudah berada dalam pengamanan polisi.

Selama seharian ini saya beberapa kali kehilangan konsentrasi pada apa yang saya lakukan. Bahkan ketika naik motor pun sampai sempat melamunkan si Embak di jalan. How could she be ? Ada disonansi yang besar terjadi karena tahu bahwa figur yang selama ini saya kenal sebagai baik-baik, ternyata adalah seorang penipu. Mungkin malah penipu ulung. Soalnya korbannya cukup banyak, dan beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang saya kenal sebagai orang yang cukup mapan, berpendidikan, dan berhati-hati. Well, sekurangnya ternyata mereka tidak sehati-hati seperti yang saya bayangkan selama ini. Tapi jadi terbukti di sini bahwa akal sehat kita untuk menilai orang lain kadang-kadang tidak memadai. Kemampuan bicara secara baik, kewarasan, kejujuran, keramahan, kesopanan, dan kepantasan berpenampilan ternyata bisa sama sekali bukan menjadi indikator dari kesehatan psikis seseorang. Tapi apakah si Embak ini normal ? atau gila ?

Di sini jadi ada omongan soal kesehatan psikis, karena katanya pada pemeriksaan oleh polisi ia membela diri bahwa ia tidak bisa dihukum karena ia ‘sakit’. Ia mungkin merasa punya peluang untuk dimaklumi seperti itu karena pemeriksaan psikiater menyimpulkan bahwa ia menderita manic-depressive. Ini adalah sebuah gangguan psikis di mana seseorang bisa secara mendadak jadi heboh, hilarious, bersemangat tinggi, dan bahagia tapi bisa dengan cepat berubah menjadi muram, merasa tertekan, dan sedih. Nah, inilah yang terjadi bila polisi psikis sudah ikut campur tangan. Kesimpulan itu bisa dijadikan sebagai alat yang punya kekuatan politis secara interpersonal. Ya moga-moga saja orang di sekitarnya sekarang tidak bodoh (Saya yakin tidak. Juga terutama hakim di persidangan nanti) atau gampang disogok. Ini bukan menyangkut soal pembenaran itu, tapi pada kenyataan bahwa ia sudah melakukan sebuah aksi kriminal. Itu adalah kenyataan yang tidak bisa dikaburkan dengan apapun juga. Ada perbedaan antara kondisi psikis seseorang dengan aksi kriminal yang dilakukan sebagai hasil dari pilihan perbuatan.

Saya masih ingat sebuah artikel yang pernah saya terjemahkan dari Carl G. Jung yang berusaha mempertahankan gagasan bahwa hasil karya seorang seniman itu tidak ada hubungannya dengan keanehan, kenyentrikan, atau gangguan psikis yang mungkin dialami olehnya. Dengan kasus ini juga jelas analogis. Apalagi jelas jenis dari aksi kriminal semacam ini bisa mengasumsikan adanya perencanaan, plot, dan kesungguhan hati untuk melakukannya. Aduh, Mbak …. kenapa begini jadinya ?

Kabar lain menyusul. Ternyata ia pernah dipenjara sebelumnya untuk kasus yang sama di Jakarta. Waktu itu penipuan dalam bisnis berlian. Anehnya, omongan ini keluar dari mulutnya sendiri, bukan dari pelacakan database yang dimiliki polisi (apakah kepolisian negara ini sudah punya database tentang profil penduduk?). Mungkin ia berusaha menguatkan alibinya, tapi yang terjadi justru itu akan semakin memberatkannya. Dari cerita-cerita yang datang kemudian, saya mendapatkan kesan bahwa terkuaknya kasus ini juga ikut menguak dirinya yang sebenarnya. Apakah si Embak sekarang ini masih pasang wajah seperti biasanya kalau aku ketemu dengannya ? Apakah ia masih ramah, sopan, pake pakaian yang serasi atas-bawah, juga wangi ? Ada dorongan aneh dalam diri saya, yaitu ingin menengoknya di sel polisi polsek Sukajadi. Tapi apa yang akan saya katakan nanti ? Apakah akan datang sebagai teman ? Apakah harus menunjukkan simpati ? Soalnya saya pribadi belum pernah punya masalah dengannya, hanya nyaris saja.

Banyak yang terlintas di kepala saya bahkan hingga saya menuliskan ini. Dikemanakan saja uang sebanyak itu ? … bahwa ternyata dia bohong soal dia masih bersuami, karena kenyataannya ia sudah cerai, dan anaknya yang berada di Sby dan terlalu sering ditinggal itu mungkin karena dia dinilai sebagai unfit mother. … bahwa mungkin dia melakukan ini semua dengan kemampuan interpersonal yang lihai, ... siapa yang tidak percaya pada perempuan modis dengan pembawaan metropolis itu ?

Sebagai sebuah pertanyaan akhir (emang saya bisanya hanya bertanya!), apakah kriteria akal sehat itu tetap masih bisa dijadikan pegangan oleh kita untuk menilai baik tidaknya seseorang ? Apakah kita harus menganggap bahwa hal semacam ini hanyalah sebuah kecelakan atau sesuatu yang tidak seharusnya terjadi ? Pada dasarnya setiap diri kita secara default adalah seorang psikolog yang naif. Belum lagi kita cenderung hanya mau melihat sesuatu atau seseorang secara konsisten dengan citra yang kita miliki sebelumnya tentang sesuatu atau seseorang itu. Apalagi kalau orang itu mendatangkan keuntungan, kenyamanan, atau segala yang positif buat kita. Seorang kolumnis Kompas terkenal yang sudah meninggal, M.A.W. Brouwer, pernah menulis (kurang lebih) bahwa sisa-sisa infantilitas pada diri seseorang adalah residen dan mungkin suatu ketika menjelma di dalam hati seperti seekor monyet kecil yang tidak berdaya dan menangis. He, he …. yang saya tangkap sih, nampaknya kepada siapapun juga, di dunia yang sekarang jadi kompleks dan semrawut ini, kayaknya kita harus selalu menyisakan satu atau beberapa depa ruang kosong bagi penilaian kita tentang orang lain. Ini sama sekali bukan baru. Joseph Luft dan Harry Ingham sudah lama ngomong dengan Johari Windows-nya tentang itu.

OK, Mbak. Our business is done, but the doomsday might still be far away ahead. ”But at my back I always hear. Time’s wingèd chariot hurrying near.” (Andrew Marvell)

Rasionalitas dan Terancam Matinya Kerja Insting

(Ini adalah tulisan yang saya buat tanggal 29 Desember 2005)

Sama seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya selalu tertarik untuk mengungkapkan fenomena-fenomena halus / subtil dari kesadaran atau yang sifatnya sosial-psikologis. Sesuatu yang dianggap wajar begitu saja, atau sesuatu yang mungkin kurang 'ditangkap' oleh pengalaman-pengalaman yang non-reflektif. Apa yang akan saya tuliskan ini sudah lama mengendap dalam pikiran saya, sesuatu yang dulu saya temui serpihan-serpihannya dalam bacaan filsafat tentang Karl Jaspers dan Zen. Dan kini itu menguat lagi dalam kesadaran saya karena ada koinsidensi begini: ada sebuah kalimat dalam filem yang bunyinya kira-kira, "I'd rather be lucky than smart" .... lalu tak lama kemudian dalam sebuah perbincangan melalui radio tentang pengalaman menyolder (merakit / mereparasi alat-alat elektronik) seorang teman dengan caranya sendiri mengungkapkan tentang hal yang kurang lebih sama.

Tidak terlalu mudah untuk menyatakan apa yang saya ingin sampaikan ini. Kalau menuruti bahasa yang langsung keluar dari pikiran saya untuk mendeskripsikan ini, maka saya bisa katakan bahwa ini adalah soal penggunaan rasionalitas, soal penggunaan pikiran yang kita pacu sampai batas-batas kemampuan kita, yang toh tidak selalu menyelesaikan masalah yang kita hadapi, tapi efeknya adalah campur tangan ketidaksadaran (unconsciousness dalam pengertian Freud) pada kesadaran kita menjadi semakin tidak menunjukkan efeknya yang positif / konstruktif, atau mungkin malah mati sama sekali. Saya sudah sadari ini lama sekali. Makanya tidak mengherankan, saya waktu itu langsung tertarik pada sebuah buku yang judulnya "Filsafat Yang Mengelak" (Verhaar, 1980). Saya hanya duga-duga saja bahwa isinya terkait dengan intuisi yang saya dapatkan. Ternyata memang buku itu merupakan perkenalan pertama saya dengan apa yang disebut Zen.

Manusia itu memahami alam semesta dengan dua jalan, yaitu dengan rasionalitasnya dan dengan irasionalitasnya. Rasionalitas mengambil bentuk pikiran dan kesadaran kita, sedangkan irasionalitas mengambil bentuk antara lain insting dan segala yang tidak terjelaskan tentang apa yang membuat kita berdaya, beruntung, atau bernasib baik (!). Sulit untuk membayangkan bahwa manusia bisa sepenuhnya rasional. Kalau kita cermati, ada saja ungkapan-ungkapan manusiawi kita yang sebenarnya menandai adanya kerja irasionalitas itu, seperti reaksi kita kalau kita mengharapkan sesuatu terjadi sesuai keinginan kita, tapi kenyataannya tidak; atau ungkapan kita kalau kita sedang beruntung. Masalahnya di sini adalah, seperti yang tadi saya sitir, apakah penggunaan rasionalitas yang kita pacu itu akan mengurangi potensi munculnya berkah dari irasionalitas diri kita (baca: insting) ?

Dari pengalaman saya, saya cenderung akan menjawab 'ya', tapi jawaban saya ini adalah sebuah ekspresi yang disertai sebuah perasaan ironi. Soalnya, rasionalitas adalah satu-satunya yang kita miliki yang kita dapat kontrol penggunaannya. Rasionalitas adalah berkah dari Tuhan yang memampukan kita untuk memahami dan menyelesaikan banyak masalah. Kita sering tidak menerima kenyataan yang menyakitkan, kita selalu ingin lebih baik dari sebelumnya, kita tidak mau menyerah dengan ketidakberuntungan yang kita alami .... dan semua itu kita hadapi dengan segala daya upaya yang dasarnya adalah rasionalitas. Mengapa penggunaan berkah yang diberikan oleh Tuhan itu dengan satu dan lain cara membuat kita terhantui oleh bayangan bahwa justru kita akan menjadi salah, kalah, sial, tidak tertolong, buntu, bahkan
kesepian ?

Apakah mungkin kita mengontrol penggunaan irasionalitas kita ? Apa bisa kita andalkan misalnya, kalau kita menghadapi jalan buntu penyelesaian masalah lalu kita tidur, dan ketika bangun kita dapati pemecahannya ? Tentu saja tidak!

Oleh karena itu terbersit oleh saya untuk melakukan semacam aksi yang mungkin akan menjadi test probe terhadap situasi ini. Bentuknya jelas sangat tidak masuk akan dan berat sekali, misalnya menerima saja kalau kita mentok dalam suatu masalah, menerima saja kesialan yang suatu ketika kita hadapi, tidak melawan balik seseorang yang mungkin memperlakukan kita secara tidak adil, dan yang penting adalah .... mencoba dengan keras untuk tidak gelisah meski apa yang kita kerjakan mungkin tidak akan berhasil atau malah gagal sama sekali. Apakah aksi-aksi yang begini ini suatu ketika akan membuat perbedaan ? Satu yang pasti: saya mengungkapkan semua ini juga dengan rasionalitas saya. Saya tidak punya kemampuan lain selain itu untuk bisa memaparkan semuanya ini.

Saya menuliskan ini dengan cukup cepat. Dalam prosesnya, kok terbersit juga tentang doa. Apakah mungkin doa adalah jalan tengah dari dua sisi yang tidak jelas saling pengaruhnya itu ? Kita sudah terlanjur teralu sering berdoa dengan bahasa yang tidak kita ketahui arti jelasnya. Mungkin sekarang sudah saatnya kita berdoa dengan puitis. Berdoa dengan betul-betul mengaksentuasikan kegelisahan, kegamangan kita.

Somehow, nampaknya ini adalah jalan lain lagi menuju Tuhan.

Wednesday, July 04, 2007

Isi dan Tampilan Baru

Akhirnya setelah sekian lama, saya bisa punya koneksi Internet yang 24 jam. Saya dapatkan itu di kantor. Akibatnya, semua yang telah saya tulis di Internet ingin saya kompilasikan dan lagi satukan di sebuah tempat. Dari satu layanan ke layanan yang lain, Saya sudah menulis macam-macam. Juga dari berbagai layanan itu saya menampilkan jatidiri yang berbeda-beda. Barangkali sekarang sudah saatnya untuk menampilkan dan menyatukan semuanya. Tidak gampang dan jelas tidak bisa langsung comot sana sini. Karena bagaimanapun multidimensi-nya saya, saya tetap butuh suatu tempat untuk merepresentasikan diri. Saya berdoa semoga blog ini bisa menjadi tempat saya menetap dan sering menulis.
Saya juga akan me-link-kan blog ini ke tempat-tempat lain secara terbuka.
Untuk tahap awal, beberapa tulisan yang tersebar akan saya copy paste ke sini.