Saturday, July 07, 2007

Balada Seorang Manic Depressive

(Ini adalah tulisan yang saya buat tanggal 28 September 2005)

A
pa yang harus kita lakukan kalau ada orang gila di sekitar kita ? Gila ? Apa itu gila ? Kadang-kadang suka ada yang bilang bahwa hanya ada batas yang tipis antara kegilaan dan apa yang disebut ‘normal’. Kata ‘normal’ itu sendiri lebih sulit. Siapakah yang gila bila dalam sebuah planet ada 99 orang gila dan satu orang normal ? Menurut saya ada level kenormalan dan kegilaan pada setiap orang. Yang jadi masalah adalah apakah orang itu punya kemampuan untuk bisa fleksibel keluar masuk ke salah satunya secara seimbang ? Dan yang paling penting adalah, apakah ia masih bisa berperasaan dan berperilaku dengan cara yang masih dapat diterima oleh orang lain sebagai wajar ? Dengan kata lain, apakah ia masih bisa ‘normal’, masih bisa menyelenggarakan kehidupan sosialnya ?

Kalau sudah begini, akan hanya menjadi rahasia bagi setiap orang tentang bagaimana tentang, katakanlah, ‘fleksibilitas psikis’ itu. Perkecualiannya adalah manakala polisi kenormalan sudah ikut campur. Ya siapa lagi kalau bukan mereka yang dalam bahasa Inggris disebut the shrink, alias psikiater dan psikolog klinis. Bila itu menjadi rahasia, sebenarnya kita akan selalu punya cukup alasan untuk mempertanyakan kondisi orang lain; teman sekantor kita, teman bergaul kita, tetangga, atau siapa saja. Tapi bila kita melakukan itu, selain bukan menjadi sebuah sikap yang praktis, itu juga adalah sebuah paranoia (atau ketidaknormalan tersendiri).Yang sering kita lakukan adalah, kita berpegang pada akal sehat kita: bila seseorang kelihatannya mampu berbicara runtut, masuk akal, bisa dipercaya, ramah, sopan, dan berpenampilan pantas maka kecenderunganya adalah kita akan bisa menerimanya dalam lingkaran sosial kita. Tapi sialnya, kita bisa bertanya, garansi apa yang akan bisa membuat kita tenang bahwa seseorang yang kita hadapi adalah seseorang yang tidak punya patologi psikis dan berpotensi untuk agresif atau merugikan secara sosial ?

Saya terpaksa bertanya seperti itu karena baru saja sesuatu yang buruk terjadi di lingkaran sosial saya, menyangkut seseorang yang untuk sekitar setahun perkenalan saya adalah seorang wanita yang saya nilai sebagai perempuan baik-baik. Saya bahkan sempat menjalin sebuah hubungan bisnis dengannya secara profesional berkenaan dengan instalasi komputer. Segala urusan saya dengan dia hingga bisnis itu selesai berjalan dengan wajar saja. Hingga hari ini saya mendapat kabar yang sungguh mencengangkan, yaitu …. ia masuk tahanan polisi. Sebutlah perempuan ini Mbak Iyut. Ia harus berdiam di sel karena cukup banyak orang yang nyata-nyata dirugikan olehnya. Ternyata ada saatnya si Mbak ini menawarkan peluang bisnis ke sana ke mari dengan mengatakan bahwa ia membutuhkan modal sekian ratus juta dengan keuntungan cepat sekian belas persen. Kenyataannya, ia menggelapkan semua uang itu. Tidak ada bisnis yang berjalan, tidak ada keuntungan. Yang ada adalah penipuan dan sekian puluh korban, dengan total kerugian hingga milyaran. Saya terkejut karena sama sekali tidak menyangka. Saya tidak mengantisipasi sedikit pun bahwa ini akan terjadi pada si Embak. Biasanya saya sangat perseptif, tapi ini kok saya kecolongan.

Mungkin si Embak ini melakukannya dengan sangat halus. Atau mungkin ia masuk ke dalam sub-species homo sapiens seperti yang ada dalam cerita Dr. Jekyll and Mr. Hyde. Entahlah, tapi yang jelas, sebenarnya saya nyaris ikut menjadi korbannya. Malam sabtu kemarin ia menelpon dengan gaya bicara yang tidak biasa. Sebelum-sebelumnya ia menyebut dirinya ‘aku’, tapi kali itu ia menggunakan ‘gue’. Seperti mau mengakrab-akrabkan diri. Ia menelpon karena ingin menindaklanjuti sms yang sebelumnya ia kirimkan, yaitu tentang bisnis yang butuh modal 150 juta. Oh, my God! Untung saya menjawab bahwa saya tidak punya uang sebanyak itu dan saya tidak sanggup. Nada bicaranya biasa-biasa saja, seperti orang normal. Ada bercandanya juga. Tidak terdengar bahwa ia sedang dirundung masalah atau mood-nya sedang tidak bagus. Sesudah telpon itu yang ada pada diri saya hanya rasa heran pada gaya bicaranya itu, tidak ada yang lain. Yang selanjutnya saya tahu, ia sudah berada dalam pengamanan polisi.

Selama seharian ini saya beberapa kali kehilangan konsentrasi pada apa yang saya lakukan. Bahkan ketika naik motor pun sampai sempat melamunkan si Embak di jalan. How could she be ? Ada disonansi yang besar terjadi karena tahu bahwa figur yang selama ini saya kenal sebagai baik-baik, ternyata adalah seorang penipu. Mungkin malah penipu ulung. Soalnya korbannya cukup banyak, dan beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang saya kenal sebagai orang yang cukup mapan, berpendidikan, dan berhati-hati. Well, sekurangnya ternyata mereka tidak sehati-hati seperti yang saya bayangkan selama ini. Tapi jadi terbukti di sini bahwa akal sehat kita untuk menilai orang lain kadang-kadang tidak memadai. Kemampuan bicara secara baik, kewarasan, kejujuran, keramahan, kesopanan, dan kepantasan berpenampilan ternyata bisa sama sekali bukan menjadi indikator dari kesehatan psikis seseorang. Tapi apakah si Embak ini normal ? atau gila ?

Di sini jadi ada omongan soal kesehatan psikis, karena katanya pada pemeriksaan oleh polisi ia membela diri bahwa ia tidak bisa dihukum karena ia ‘sakit’. Ia mungkin merasa punya peluang untuk dimaklumi seperti itu karena pemeriksaan psikiater menyimpulkan bahwa ia menderita manic-depressive. Ini adalah sebuah gangguan psikis di mana seseorang bisa secara mendadak jadi heboh, hilarious, bersemangat tinggi, dan bahagia tapi bisa dengan cepat berubah menjadi muram, merasa tertekan, dan sedih. Nah, inilah yang terjadi bila polisi psikis sudah ikut campur tangan. Kesimpulan itu bisa dijadikan sebagai alat yang punya kekuatan politis secara interpersonal. Ya moga-moga saja orang di sekitarnya sekarang tidak bodoh (Saya yakin tidak. Juga terutama hakim di persidangan nanti) atau gampang disogok. Ini bukan menyangkut soal pembenaran itu, tapi pada kenyataan bahwa ia sudah melakukan sebuah aksi kriminal. Itu adalah kenyataan yang tidak bisa dikaburkan dengan apapun juga. Ada perbedaan antara kondisi psikis seseorang dengan aksi kriminal yang dilakukan sebagai hasil dari pilihan perbuatan.

Saya masih ingat sebuah artikel yang pernah saya terjemahkan dari Carl G. Jung yang berusaha mempertahankan gagasan bahwa hasil karya seorang seniman itu tidak ada hubungannya dengan keanehan, kenyentrikan, atau gangguan psikis yang mungkin dialami olehnya. Dengan kasus ini juga jelas analogis. Apalagi jelas jenis dari aksi kriminal semacam ini bisa mengasumsikan adanya perencanaan, plot, dan kesungguhan hati untuk melakukannya. Aduh, Mbak …. kenapa begini jadinya ?

Kabar lain menyusul. Ternyata ia pernah dipenjara sebelumnya untuk kasus yang sama di Jakarta. Waktu itu penipuan dalam bisnis berlian. Anehnya, omongan ini keluar dari mulutnya sendiri, bukan dari pelacakan database yang dimiliki polisi (apakah kepolisian negara ini sudah punya database tentang profil penduduk?). Mungkin ia berusaha menguatkan alibinya, tapi yang terjadi justru itu akan semakin memberatkannya. Dari cerita-cerita yang datang kemudian, saya mendapatkan kesan bahwa terkuaknya kasus ini juga ikut menguak dirinya yang sebenarnya. Apakah si Embak sekarang ini masih pasang wajah seperti biasanya kalau aku ketemu dengannya ? Apakah ia masih ramah, sopan, pake pakaian yang serasi atas-bawah, juga wangi ? Ada dorongan aneh dalam diri saya, yaitu ingin menengoknya di sel polisi polsek Sukajadi. Tapi apa yang akan saya katakan nanti ? Apakah akan datang sebagai teman ? Apakah harus menunjukkan simpati ? Soalnya saya pribadi belum pernah punya masalah dengannya, hanya nyaris saja.

Banyak yang terlintas di kepala saya bahkan hingga saya menuliskan ini. Dikemanakan saja uang sebanyak itu ? … bahwa ternyata dia bohong soal dia masih bersuami, karena kenyataannya ia sudah cerai, dan anaknya yang berada di Sby dan terlalu sering ditinggal itu mungkin karena dia dinilai sebagai unfit mother. … bahwa mungkin dia melakukan ini semua dengan kemampuan interpersonal yang lihai, ... siapa yang tidak percaya pada perempuan modis dengan pembawaan metropolis itu ?

Sebagai sebuah pertanyaan akhir (emang saya bisanya hanya bertanya!), apakah kriteria akal sehat itu tetap masih bisa dijadikan pegangan oleh kita untuk menilai baik tidaknya seseorang ? Apakah kita harus menganggap bahwa hal semacam ini hanyalah sebuah kecelakan atau sesuatu yang tidak seharusnya terjadi ? Pada dasarnya setiap diri kita secara default adalah seorang psikolog yang naif. Belum lagi kita cenderung hanya mau melihat sesuatu atau seseorang secara konsisten dengan citra yang kita miliki sebelumnya tentang sesuatu atau seseorang itu. Apalagi kalau orang itu mendatangkan keuntungan, kenyamanan, atau segala yang positif buat kita. Seorang kolumnis Kompas terkenal yang sudah meninggal, M.A.W. Brouwer, pernah menulis (kurang lebih) bahwa sisa-sisa infantilitas pada diri seseorang adalah residen dan mungkin suatu ketika menjelma di dalam hati seperti seekor monyet kecil yang tidak berdaya dan menangis. He, he …. yang saya tangkap sih, nampaknya kepada siapapun juga, di dunia yang sekarang jadi kompleks dan semrawut ini, kayaknya kita harus selalu menyisakan satu atau beberapa depa ruang kosong bagi penilaian kita tentang orang lain. Ini sama sekali bukan baru. Joseph Luft dan Harry Ingham sudah lama ngomong dengan Johari Windows-nya tentang itu.

OK, Mbak. Our business is done, but the doomsday might still be far away ahead. ”But at my back I always hear. Time’s wingèd chariot hurrying near.” (Andrew Marvell)