Saturday, July 07, 2007

Face of a Saint, Hands of a Sinner

Saya pernah membaca di sebuah resensi buku yang isinya mempertanyakan mengapa orang yang nampaknya sehari-hari baik, berprestasi, terpandang, dan sopan tiba-tiba ketahuan melakukan hal yang tidak masuk akal atau punya sisi lain yang tidak pantas secara sosial. Sebelum saya ceritakan yang ini, saya pernah mengalaminya dan saya ungkapkan di sini. Berbeda dengan itu, yang saya alami sekarang betul-betul dekat dengan saya sebagai pribadi. Sungguh tidak habis pikir, kenapa ini bisa terjadi.

Baru-baru ini saya merenungkan lagi konsep dalam Eksistensialisme yang disebut bad faith. Dalam konsep itu, menurut saya, dikatakan bahwa orang bisa sangat teridentifikasi dengan peran dan posisi sosialnya sehingga seolah-olah ia memang 100 persen seperti itu, tidak bisa lain. Saya kira ini tentu juga bisa dalam kaitannya dengan pilihan seseorang tentang perbuatannya. Orang yang sehari-harinya baik, berprestasi, terpandang, atau sopan akan segera mengesankan bahwa ia memang 100 persen seperti itu. Kita bahkan sulit untuk membayangkan sebuah figur yang sebaliknya pada orang itu. Tapi kata siapa dia tidak mungkin untuk menjadi sebaliknya ?

Saya termasuk yang percaya bahwa Kemanusiaan adalah sebuah konstruksi. Suatu konstruksi menjadi pilihan karena memang dirasakan fit dengan batas-batas eksistensi. Nah, yang menjadi masalah adalah, bagaimana mungkin seseorang secara diam-diam keluar dari konstruksi itu dan merasa bahwa itu adalah sebuah sikap / perilaku yang pantas dipilih ? Mengapa orang bisa merasa tidak nyaman lagi dengan perspektif kemapanan etis yang ada ?

Dalam bentuknya yang kongkrit, teori topeng itulah yang muncul. Dihadapan kita ia adalah sebuah figur yang oke-oke saja. Hingga saatnya ia berbuat kesalahan atau kecerobohannya membuat rahasia hitamnya itu terbongkar. Kalau sudah begitu, apakah sebaiknya kita selalu menyisakan ruang dalam diri kita bagi orang yang kita kenal, bahwa ia mungkin juga jadi seperti Dr. Jekyll and Mr. Hyde ?

Dalam psikologi, secara dingin itu dikatakan bahwa gejala-gejalanya bisa disebut mulai dari perilaku bipolar, psikopat, sampai kepribadian yang terbelah. Tapi dalam kehidupan nyata ini, berhadapan langsung dengan orang seperti itu adalah sebuah horor, apalagi kalau sampai pada kehidupan pribadi kita.

Saya melihat, sampai batas usia matang tertentu, orang bisa gamang terpenjara pada dua hal saja; dalam lingkup sosial adalah uang dan yang dalam lingkup personal atau intersubyektif adalah seks. Reduksi kemultidimensionalan ini terjadi secara serius karena tekanan kehidupan mudah menjauhkan orang dari semangat religius dan dengan mudah ia jatuh menjadi seorang komunis sejati yang kecil-kecilan. Hidup itu harus pantas, katanya, dan hari ini yang disebut pantas sering adalah yang masuk ke bawah sadar kita tentang apa yang kita lihat di televisi. Lalu karena semua orang berkeluarga dan keluarga itu adalah sebuah institusi shockbreaker buat kebinatangan kita, maka diam-diam banyak yang sebenarnya adalah ultra-freudian pragmatis. Bila kebinatangan itu dapat tersalurkan dengan baik, maka katanya segalanya pun akan menjadi baik dengan sendirinya. Aduh, terlalu banyak hilang. Di mana tempatnya bagi apresiasi tentang keindahan ? tentang seni, tentang puisi, tentang yang relatif ?

Saya ingin sekali berteori bahwa kepribadian yang ganda atau terbelah itu kalau tidak karena sebab-sebab yang psikiatrik, maka itu sebenarnya karena pemiskinan dimensi kehidupan. Orang jadi berpikir terlalu sederhana, bahwa hidup itu yang penting tinggal begini atau begitu. Jadi, terlalu banyak yang hilang, terlalu banyak yang tidak diapresiasi. Lalu, saya curiga bahwa ini dapat dengan mudah terjangkit pada orang-orang yang kerja dan profesinya menghadapkan dia pada pilihan hitam atau putih, dan yang darinya bisa mendapatkan uang dengan mudah.

Dengan cepat saya di sini membayangkan seorang yang naif. Dia bilang, kata siapa saya tidak punya apresiasi pada semua itu ? Buktinya saya punya ini itu, melakukan ini itu, dan beli ini itu. Salah kaprah ! Yang paling sulit di sini adalah bahwa sama sekali tidak ada jalan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa kita sudah punya apresiasi yang memadai untuk kemultidimensionalan diri kita. Soalnya hanya kita sendiri lah yang tahu, dan di sini kita sama sekali tidak berurusan dengan indikator yang bisa dilihat. Lagian, semuanya ini tidak mungkin bisa instan, tapi lebih merupakan akumulasi dari proses belajar yang memakan waktu sepanjang hidup.

Akhirnya, ternyata memang persepsi kita gampang dipenjara oleh indra. Seeing is believing, katanya, dan bila kita melihat orang lain, maka fokus kita adalah pada wajahnya. Kita suka lupa, wajah boleh seperti orang suci, tapi dari tangannya, mungkin ia adalah seorang pelacur.