Saturday, July 07, 2007

Mengasalkan Semangat Hidup Pada Sebuah Kepicikan Pribadi

(Tulisan ini saya buat tanggal 10 Februari 2005)

-- tanggapan untuk tudingan SBP pada saya --

Kalau saja pada seorang manusia, darinya dilucuti segala-galanya, maka dari kondisi yang paling minimal itu apa kiranya yang masih tersisa yang bisa ia gunakan untuk bertahan diri? Hanya satu, yaitu pikirannya sendiri. Peradaban kita telah membuat hal seperti itu mungkin menjadi sebuah ekstrem yang jarang dijumpai. Tapi situasi-situasi batas hidup kita tidak jarang membuat kita buta dan berpikir bahwa kita adalah makhluk yang sendirian di planet ini. Manakala itu terjadi, entah kita akan menyerah kalah, meniscayakan diri pada orang lain bahwa kita tidak dapat hidup tanpa mereka, atau kita tetap berpegang pada ego bahwa hidup adalah sebuah proyek yang harus kita selesaikan, yang manifestasinya bisa mengambil macam-macam sublimasi.

Masalahnya adalah, setelah kita tahu bahwa yang tersisa hanyalah pikiran / kesadaran kita sendiri, lalu apa dasar yang kita punya bahwa kita masih harus terus hidup? Hidup untuk sebagian besar adalah sesuatu yang tidak perlu kita pikirkan. Hanya perlu kita jalani saja. Tapi pada situasi batas di mana itu terlintas dalam benak kita, jawaban apa yang bisa kita ajukan? Kebanyakan dari kita menghindar dari pertanyaan itu, atau kalaupun mesti berhadapan dengannya, mereka akan tampil dengan jawaban yang sama itu saja. Maka yang dilakukan orang adalah menghindari obyektifikasi jawaban itu, menghindari pendekatan kognitif sebagai jawabannya. Alih-alih, kesadaran kita lebih memilih sesuatu yang tidak jelas, tidak dapat dideskripsikan wujudnya, tapi memiliki efek yang nyata, yang akan membuat kita tidak saja ingin tetap hidup, tapi memajukannya.

Itulah pengertian Semangat yang saya maksud di sini. Apakah kita bisa mengatakannya sebagai sebuah kebutaan manakala seseorang membiarkan dirinya dipandu olehnya dan pada saat yang sama ia tidak dapat menjawab ketika kita tanya ke mana ia Mengarah? Ya tapi itulah manusia. Ia tidak selamanya harus bertanggungjawab secara literal untuk semua perbuatannya. Malah mungkin sebagian
besar dari tindakan kita sama sekali tidak ada pembenarannya! Tapi, pada situasi-situasi batas manusia yang paling bawah, ada saatnya yang bisa kita lakukan hanyalah memungut saja apa yang ada pada jalan mendaki dan berkerikil tajam itu, yang bisa tetap membuat kita tetap bermakna dan bernyawa. Betul-betul apa saja! Apa jadinya bila kita berada di dalam situasi di mana pilihan kita untuk survive adalah dengan memilih berpegang pada sesuatu yang mungkin secara normatif jelek? Seperti judul ini; bagaimana bila kita mengasalkan semangat hidup pada sebuah kepicikan pribadi?

The end should not justify the means. Tapi apakah selalu semua mata rantai dari proses itu harus koheren dengan segala yang baik? Buat saya, kalau itu dimungkinkan terjadi, maka selamat dan terpeliharalah konstruksi moralitas seorang manusia, tapi bagaimana bila tidak? Ada kalanya sesuatu mungkin berawal buruk, tapi ujungnya berakhir bagus. Rasanya kalau kita selalu berharap bahwa segalanya harus berawal dengan segala bagus dan berakhir bagus adalah sebuah move yang tidak realistis. Kenapa kita tidak terbuka saja pada kemungkinan, dan pada saat yang sama mengantisipasi kalau yang buruk terjadi? Buat saya, koherensi normatif pada rantai proses moralitas perilaku manusia adalah sesuatu yang hanya diharapkan terjadi saja, tapi tidak selamanya kita punya kendali pada hal itu. Maka dari itu, pada kondisi di mana kita sangat helpless, mungkin kita harus menggapai apa saja yang bisa kita raih untuk survival kita. Dalam kaitannya dengan semangat hidup itu, bagaimana kalau kita mengasalkannya pada kepicikan kita sendiri?

Seseorang mungkin neurotik, dan berpikir bahwa tidak ada seorangpun yang menghargai dan mencintainya. Tapi ia berpegang teguh pada pendirian eksistensialnya dan berpikir bahwa ia akan membuat semua orang menoleh kepadanya berkat prestasi luar biasa yang dicapainya. Seseorang lain mungkin menaruh rasa benci pada kaum borjuis, dan pada saat yang sama ia tidak ingin menjadi seorang snob. Tapi berkat rasa bencinya itu akhirnya ia malah bisa mengangkat sebuah praksis kehidupan yang lebih manusiawi. Seorang perempuan boleh jadi tidak terlalu menarik dan tidak bisa menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, tapi ia adalah seorang Jeanne d' Arc yang gagah berani. Terus terang, saya nggak percaya bahwa dari ujung awal proses tindakan kita hingga akhir dari tercapainya tujuan harus terdiri dari semua yang secara normatif baik. Kalau itu terjadi, ya syukurlah. Tapi ini juga bukan pencanangan bagi sebuah niat yang jahat dalam rangka mencapai suatu tujuan.

Apa yang diperlukan nampaknya adalah keterbukaan pada kemungkinan apapun dan kesetiaan kita pada Kemanusiaan, yang bila saatnya memungkinkan akan kita dukung dengan sepenuh hati, tapi yang bila saatnya kurang memungkinkan bukannya kita tolak. Tapi tidak kita hadapi dengan sikap yang perfeksionis moral. Soalnya, (akan) ada saatnya di mana imajinasi membawa kita ke kegelapan yang paling pekat untuk melihat masa depan, dan satu-satunya pembimbing kita (mungkin) adalah setitik cahaya yang asalnya belum tentu dari dunia yang penuh dengan semerbak wangi bunga dan tempat yang bersih dari segala noda. Noda kemanusiaan kita semua.