Saturday, July 07, 2007

Semantik Fundamentalisme (bagian I)

(Ini adalah tulisan yang saya buat tanggal 1 Agustus 2005)

Sudah lebih dari dua kali saya mendengar orang menjelaskan tentang apa itu fundamentalisme. Dikatakan bahwa menjadi fundamental adalah perlu bagi setiap pemeluk agama. Karena hanya dengan begitu orang mencapai dasar (fundamen) dari apa yang diimaninya. Kata yang hampir sama juga mendapat penjelasan yang mirip: fanatisme. Kita harus fanatik dengan apa yang kita imani karena bla, bla, bla. Yang mengherankan dari kecenderungan penjelasan ini adalah orang sudah lupa bahwa tidak ada hubungan natural antara sebuah istilah dan apa yang ditunjuknya. Dalam bahasa linguistik ini dikatakan dengan, "sebuah signifier bukan merupakan representasi obyektif dari sebuah signified." Akibatnya adalah bahwa orang jadi terpaku pada istilah, dan apa yang terjadi pada realitasnya menjadi nomor dua.

Jadi yang mau saya katakan adalah apa yang sebenarnya ditunjuk oleh kata fundamentalisme itu. Mungkin orang-orang yang memberi nama itu pada awalnya punya agenda tertentu, sehingga orang-orang yang berkepentingan dengan denotasinya merasa harus membela diri. Akan tetapi bukankah kita selalu bisa untuk menyelidiki apa yang sebenarnya ingin ditunjuk oleh orang yang mengatakannya ? Ya jelas! Orang menggunakan kata fundamentalisme untuk menunjuk pada sikap-sikap yang ekstrem, hitam putih, tidak toleran, tidak kompromi, dan segalanya yang asosiatif. Kenyataan hidup kita menunjukkan bahwa ada beberapa di antara kita yang entah terang-terangan atau diam-diam memiliki sikap seperti itu. Kita memang bebas. Bahkan bebas untuk bersikap apa saja terhadap apa saja. Tapi tidak selamanya sikap itu hanya seperti sebuah rahasia abadi yang tidak akan terungkap. Pasti akan ada saatnya sikap itu menjadi tidak kasat mata dan kasat rasa bagi orang lain. Pertanyaannya adalah, apakah fundamentalisme adalah sesuatu yang memadai untuk dijadikan dasar bagi sikap kita terhadap segala hal?

Andai saja kita hidup di sebuah planet di mana semua orang itu sama dengan sikap yang kita miliki. Tapi sayangnya itu tidak mungkin. Kenyataannya adalah kita hidup di dunia yang isinya beragam orang dengan beragam sikap. Bagaimana mungkin kita hidup di dunia semacam itu dengan ancangan bahwa apa yang kita yakini adalah yang paling benar di antara yang lain ? Barangkali itu akan aman-aman dan baik-baik saja kalau disimpan dalam hati, tapi kalau sudah menyangkut hubungan sosial kita, bukankah itu sama dengan detik mundur bagi meledaknya sebuah bom waktu?

Saya punya seorang teman yang berlangganan seorang tukang kebun. Ia memuji tukang kebun itu karena pekerjaannya rapih dan dia selalu jujur dengan perilakunya. Ia bercerita pada saya, bahwa suatu ketika ia memutuskan untuk tidak akan pernah memanggilnya lagi. Penyebabnya adalah karena akhirnya dia menemukan tukang kebun itu tidak pernah menjalankan sholat lima waktu.