Saturday, July 07, 2007

Menjelang Hari Kematian "The Godfather of The Truth"

(Ini adalah tulisan yang saya buat tanggal 25 Februari 2005)

Saya masih ingat betul, di halaman-halaman awal bukunya Negroponte yang populer itu (Being Digital) dikesankan bahwa kehidupan cyber adalah sesuatu yang tidak wajar. Mungkin malah dikesankan bahwa dunia itu penuh dengan ekses yang membuat orang jadi melarikan diri dari kontak nyata dengan orang lain. Ya siapa yang bisa mengelak dari kebenaran itu kalau latarnya adalah sebuah penggunaan Internet yang overdosis? Memang betul, penelitian-penelitian di Amerika tentang penggunaan Internet mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa tinggal masalah waktu dan meningkatnya kualitas infrastruktur hingga akhirnya intensitas penggunaannya meningkat dan akan memiliki dampak buruk pada sosiabilitas orang yang menggunakannya. Tapi jangan lupa juga mesti dikatakan bahwa itu adalah efek yang paradoks, yang buat saya bukan hanya konseptual, tapi juga pada kenyataannya. Maksudnya, paradoks itu bukan hanya dari kenyataan bahwa Internet adalah sebuah teknologi komunikasi yang sebenarnya akan lebih memperkuat hubungan dan ikatan sosial yang dimiliki orang, tapi juga dari sebuah potensi yang dimiliki Internet dalam konteks intellectual discourse yang sangat demokratis. Intinya, kalau sudah mengatakan bahwa Internet itu punya dampak negatif, jangan lupa untuk juga mengedepankan bahwa medium ini punya kelebihan nyata yang pantas dirayakan.

Saya mungkin akan telah menulis ini dengan sangat emosional. Seperti kalau terlalu banyak yang ingin kita katakan ketika membela diri, sedangkan yang kita punya hanya satu mulut ini. Dalam kaitan itu Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk membahas ulang problematika yang sering dijadikan ilustrasi dari pengantar Empirisisme tentang apa yang real dan tidak real, tapi saya harus sedikit mengesankan ke arah sana karena banyak orang yang dengan begitu mudah mengatakan bahwa pertemuan tatap muka adalah real, dan interaksi melalui Internet adalah tidak. Saya nggak mau ikut dalam arus pembagian itu, karena kesannya masalah real dan tidak real dalam kaitannya dengan Internet itu jadi soal selera dan perasaan, sedangkan esensinya dikesampingkan. Yang saya permasalahkan adalah sesuatu yang mengatasi real atau tidak real itu. Pertanyaannya memang dalam konteks intellectual discourse; apakah kebenaran bisa lebih terfasilitasi oleh medium Internet ?

Saya bukannya mau mencanangkan suatu kepribadian yang maniak ilmiah, tapi please pahami ini dalam konteks intellectual discourse itu. Jawaban atas pertanyaan itu buat saya adalah: Ya! Memang ada yang pasti menggugat dengan mengatakan bahwa yang disebut kebenaran adalah sesuatu yang tidak bisa obyektif dan berada dalam relasi di antara orang-orang yang memiliki dunia yang sama, bahkan kultur yang sama. Bukan itu. Maksud saya di sini adalah sebuah kebenaran dan proses untuk mencapainya yang bisa ditempuh oleh intersubyektifitas yang tidak diganggu oleh otoritas politis individu dan variasi karakter psikologis orang-orang yang mungkin saja di lain tempat mengklaim dirinya sebagai demokratis (plus mungkin religius!), tapi pada kenyataannya ia adalah seorang Godfather of the Truth.

Negroponte mungkin akan memberikan argumen yang sama seperti dalam bukunya untuk poin saya itu. Tapi coba bayangkan, di luar sana ada bapak-bapak dan ibu-ibu intelektual terhormat yang lupa bahwa dalam diri mereka telah tertanam bias individu yang begitu memalukan. Itu adalah hal yang biasanya mungkin menjadi bahan kasak-kusuk di dalam kelas oleh mahasiswa yang merasa sebal oleh kuliah dan pembawaan dosennya. Para mahasiswa tahu bahwa akan ada saatnya demi kelancaran studinya mereka akan harus menyerahkan idealisme yang mereka miliki untuk kekeraskepalaan sang pembimbing. Akan ada saatnya pula bagi mereka yang terus membawa semangat membela diri tapi akhirnya kandas dengan kesadaran bahwa memang betul; di ujung pendidikan, yang ada bukan lagi kebebasan untuk menjadi dan mengembangkan diri sendiri, tapi sebuah kepatuhan pada segalanya itu, mulai dari otoritas yang ada karena struktur hingga ke praksis intelektualitas yang tertutup, tidak dialogis, dan mungkin malah neurotik.

Saya mau bilang ini adalah skandal, tapi skandal dari jenis yang begitu lumrah karena memang tidak baru, terjadi terus-menerus, dan lokusnya tidak pada wilayah publik. Tapi coba lihat apa yang mungkin bisa terjadi melalui Internet ? Ya bukannya mau menganalogikan situasi mahasiswa-dosen itu secara langsung, tapi maksudnya lebih ke potensi dialog untuk munculnya kebenaran itu lho. Memang, interaksi melalui Internet itu ditandai oleh reduced sosial cues (kurang adanya isyarat-isyarat sosial) yang tanpanya (social cues itu) komunikasi mungkin akan bisa mengarah ke kesalahpahaman. Tapi lihat sekali lagi, bukankah melalui Internet komunikasi itu tidak sekedar one-way traffic ? Mereka yang malas mungkin akan bicara soal efisiensi di sini. Emangnya sejak kapan komunikasi melalui Internet harus kita lakukan dengan begitu susah payah sehingga untuk sekali melakukannya harus mempertimbangkan variabel itu ? Apakah harus bolak-balik ke warnet ? Apakah harus berulang-ulang melakukan dial-up ? Iya memang ada masalah infrastruktur di sini, tapi mereka yang berpegang pada argumen itu seperti diam-diam menganalogikan komunikasi pada media konvensional dengan Internet. Internet ya beda lagi. Orang yang memang sudah memutuskan untuk menggunakan media ini ya harus sekaligus mengasumsikan ia tidak hanya sekali saja melakukannya, dan punya tanggungjawab untuk kontinuitas komunikasinya demi dialog yang telah ia ikuti.

Meskipun ditandai dengan reduced social cues, tapi justru di situlah kekuatan interaksi melalui Internet. Di lain pihak interaksi sosial yang konvensional dalam rangka intellectual discourse itu saya pikir malah terlalu banyak outputnya diwarnai oleh social cues dari komunikator yang ada. Saya bicara soal kebenaran yang SEBISA MUNGKIN kita tampilkan wajahnya yang obyektif. Dalam tataran itu tentu jelas dengan sendirinya bahwa interaksi dalam rangka intellectual discourse yang kental diwarnai oleh social cues malah akan lebih menampilkan sisi subyektif dan kebenaran itu. Tapi bayangkan sebuah interaksi di mana yang menjadi penentu dari marketable-nya sebuah gagasan adalah kualitas gagasan itu sendiri, dan bukan terutama subyek yang mengemukakannya. Bukannya si subyek tidak penting. Ingat, sekali lagi di sini saya bicara soal kebenaran yang SEBISA MUNGKIN kita tampilkan wajahnya dengan obyektif. Jangan membawa ini ke luar konteksnya. Nah, bukankah interaksi melalui Internet adalah sebuah alternatif yang sangat menarik ?

Manakala marketable-nya atau survival-nya sebuah gagasan / konsep adalah lebih berkenaan dengan kualitasnya dan bukan subyek yang melontarkannya, maka akan terbuka bagi kemungkinan dihasilkannya output pemikiran yang lebih demokratis dan tentu saja dengan cara itu kita bisa mulai melihat jalan ke arah "obyektifitas" (dalam arti kurangnya intervensi subyektifitas). Mungkin berlebihan, tapi saya sangat tergoda untuk mengatakan bahwa pada setting dialog sosial yang represif, komunikasi dalam rangka kepentingan ilmiah sering berubah jadi semacam khotbah saja, dan keberadaan fisik komunikator adalah noise, bahkan distorsi bagi niat semula untuk mencapai yang luhur, altruistik, bahkan yang ilmiah. Sayangnya hingga kini Untuk sebagian besar orang, interaksi ilmiah melalui Internet belum mendapat tempat terhormat. Sialnya pada saat yang bersamaan yang lebih populer malahan gambar porno, hoax alias info palsu, virus, dan pencurian kartu kredit. Kapan para intelektual akan merayakan Internet sebagai sebuah jalan baru untuk menegaskan eksistensinya secara lebih jujur?

Ya akan ada saatnya. Sementara mungkin internet bagi mereka yang otoriter itu adalah sebuah inovasi yang adopsinya penuh dengan perjuangan serta persepsi tentang kerumitan dan ketidakpraktisan, mungkin mereka sendiri sadar bahwa potensi interaksi yang ada pada media ini pada akhirnya akan meminggirkan mereka, memberikan counter pada kredibilitas mereka yang selama ini tidak terusik, bahkan menjatuhkan mereka ke dalam perang flaming karena anonimitas yang bisa ada pada interaksi ini juga bisa menampilkan sisi gelapnya.

Barangkali memang masih lama juga. Tapi ketika itu terjadi, akan ada sekelompok orang yang bersulang untuk mensyukuri hari kematian the Godfather of the Truth. Saya tak akan ragu untuk bergabung dalam pesta itu.