Saturday, July 07, 2007

Memilih Satu Berarti Memilih Untuk Semua (*)

(Tulisan ini dibuat pada tanggal 18 Juli 2005)

Untuk: LLH

Selalu ada cukup banyak kata-kata untuk menggambarkan segala sesuatu. Tapi aku memilih judul ini karena saat-saat kebersamaan denganmu selalu berkali-kali mengingatkan aku pada kata-kata itu; kata-kata yang aku ingat dari bacaanku dulu, dan juga kata-kata yang belum pernah sekalipun aku ceritakan kepadamu. “Kata-kata” barangkali akan terdengar seperti sesuatu yang menurutmu termasuk ke dalam “teori”, “pengetahuan”, atau segala hal yang aku hanya bisa dapat dari bacaan-bacaan. Aku tulis itu karena lebih dari satu kali kau bilang bahwa teori tanpa praktek, kenyataan, atau pengalaman adalah sesuatu yang tidak lengkap. Tanpa harus kujelaskan dengan persis perbedaan detil kata-kata itu, aku harus bilang bahwa aku sepakat dengan itu. Tapi aku sendiri adalah manusia yang juga menghadapi kenyataan dan punya pengalaman. Kalau kau mengatakan itu (disadari / tidak disadari) dengan nada yang mengesankan bahwa seolah-olah jauh lebih baik bicara tentang kenyataan dan bahwa pengalaman itu nomor satu, maka inilah saatnya ingin kuceritakan kepadamu sebuah sisi yang mungkin belum kau lihat sama sekali.

Kita hidup dengan membuat pilihan-pilihan. Hidup ini sendiri bahkan terdiri dari begitu banyak pilihan, meskipun ada saatnya kita akan terdorong untuk mengatakan bahwa kita sama sekali tidak punya pilihan lain, yaitu ketika hanya ada satu-satunya alternatif di hadapan kita. Tapi meskipun kita berada dalam keadaan itu, kita masih bisa memaknainya sebagai tindakan memilih juga, yaitu apakah kita akan memilih atau tidak memilih sama sekali. Ini bukanlah sesuatu yang baru. Pasti sudah ada banyak orang yang mengatakan hal yang sama, entah dengan nada yang arogan karena seseorang punya kemewahan dengan begitu banyak pilihan, atau entah dengan kesan bahwa ia sok optimis, padahal yang sebenarnya ia sama sekali tidak punya kuasa untuk mengendalikan kenyataan yang akan terjadi. Yang jelas, sudah lama diam-diam aku sepakat dengan judul tulisan ini: ketika kita membuat pilihan, maka pilihan kita juga menunjukkan apa yang baik pula buat orang-orang lain.

Kita pasti akan memilih yang baik untuk diri kita. Kau bisa mengartikan apa saja untuk kata ‘baik’ di situ. Apakah baik itu bisa berarti yang cocok, yang mengenakkan, mengenakkan, menguntungkan. Pokoknya, kita tidak pernah memilih yang buruk. Pada saat yang sama, sebenarnya itu juga akan sekaligus menunjukkan apa yang kita anggap baik pula bila orang lain berada pada posisi, situasi, dan kondisi yang sama dengan kita. Jangan salah mengerti, sayang. Memang betul orang lain mungkin tidak akan pernah berada dalam posisi, situasi, dan konsisi yang persis sama dengan kita suatu saat. Maksudku, ketika kita memilih, kita juga sudah sekaligus menunjukkan pandangan dan penilaian kita mengenai sesuatu hal. Pandangan dan penilaian itulah yang pada saat yang sama menjadi citra kita tentang bagaimana manusia itu sebaiknya bila berada pada posisi, situasi, dan kondisi yang sama.

Orang boleh jadi akan terburu-buru bilang kok sepertinya aku itu tidak mau mengerti bahwa tidak jarang kita itu memilih atau memutuskan sesuatu karena perasaan saja, bukan karena pertimbangan matang. Terlebih lagi, kita suka memutuskan sesuatu tentang diri kita harus begini atau begitu, meskipun di dalam hati kita itu tahu bahwa keputusan kita itu sebenarnya salah, sama sekali tidak baik, atau bahkan jelas-jelas merugikan orang lain. Bukankah manusia itu tidak sempurna ? Betul. Tapi justru di situlah intinya. Manusia itu bukan ‘batu’.

Bukan ‘batu’, aku bilang. Bukan pula sebuah monumen. Maka dari itu agak menggelikan buatku kalau mendengar seseorang yang masih hidup membuat biografi, karena buatku yang pantas untuk dibuatkan biografinya adalah seseorang yang sudah mati. Tak ada seorang manusia-hidup pun yang pantas membuat biografi kecuali kalau orang itu mau puas dengan sebuah biografi yang tidak lengkap, atau sebuah biografi-biografian. Kita, menurutku, selalu dalam keadaan bisa untuk memperbaiki biografi diri kita sendiri. Oleh karenanya, apa yang bisa kita katakan tentang orang yang sudah memilih / memutuskan sesuatu tentang dirinya sendiri tapi pada saat yang bersamaan ia tahu bahwa itu adalah keputusan yang tidak baik atau salah sama sekali ? Manusia tidak bisa divonis terburu-buru seperti, …. Kalau begitu, ya memang begitu lah dia. Tidak. Tidak sama sekali. Seperti aku bilang, kita selalu berada dalam posisi di mana kita bisa memperbaiki biografi kita sendiri. Maka seperti apakah seseorang itu, tidak akan pernah bisa kita katakan sebelum kita melihat apa yang akan dia lakukan dengan keputusannya dan kesadaran tentang nilai keputusannya itu; apakah itu menurutnya keputusan yang baik atau buruk. Tapi bahkan aku juga mau bilang, kita mungkin tidak akan pernah tahu seperti apa dia sebenarnya, Manusia yang bagaimanakah dia, …. Sebelum dia mati. Karena sesudah dia melakukan satu perbuatan (yang berasal dari suatu pilihan), kita bisa bayangkan dia untuk kemudian melakukan pilihan lain, yang mungkin menjadikan warna baru bagi orang lain untuk menilainya sebagai seorang manusia, entah perbuatan itu perbuatan yang baik atau yang buruk. Begitu seterusnya. Begitulah manusia. Jadi, kalau kita sudah mati, barulah kita menjadi ‘batu’ itu.

Mungkin aku akan terdengar seperti orang yang terlalu rumit. Tapi sebenarnya tidak, sayang. Aku justru sebenarnya perlu banyak berkata-kata seperti ini agar bisa menjadi lebih mudah dimengerti. Tidak selamanya apa yang ada dalam perilaku kita sehari-hari adalah sesuatu yang mudah-mudah saja. Kelihatannya mungkin memang banyak yang remeh atau gampang, tapi sebenarnya sering di baliknya ada sesuatu yang sungguh bernilai. Kita mungkin luput untuk menyadarinya karena kita membiarkan diri kita hanyut oleh arus perasaan kita sendiri. Baru ketika arus itu reda, kita mungkin merasa terdampar dan kaget mendapati diri kita ternyata begini atau begitu. Mungkin juga selama ini kita bisa berpikir bahwa kita itu baik-baik saja, dan menganggap bullshit semua omongan jelek orang tentang diri kita, tapi bisa jadi kemudian ada celah-celah yang kita temukan dalam diri kita sendiri yang membuat kita tersenyum kecut, karena ternyata mereka bukannya tidak punya alasan untuk semua itu. Aku tak mau hal seperti itu seolah seperti bom waktu. Aku tak mau hanya tinggal menunggu saatnya saja sebelum semua itu terjadi. Itu sebabnya aku menuliskan ini.

Kalau aku ingat-ingat lagi pengalaman hidupku, mungkin sudah cukup banyak orang yang kutemukan membiarkan dirinya berkubang dalam keputusan yang buruk, tapi ya tetap menjalaninya terus. Aku tidak mau mengatakan bahwa hidup itu sederhana. Orang-orang yang sok bijaksana sering mengatakan itu. Soalnya yang sebaiknya dikatakan adalah, ‘hidup itu rumit dan sulit, tapi marilah kita jadikan sederhana.’ Ya memang hidup itu seperti itu. Banyak yang sulit dimengerti, apalagi kalau kita hanya menilainya dari luar. Tapi kembali lagi ke yang tadi aku katakan. Manusia bukan batu, manusia selalu bisa terus menerus memperbaiki diri. Merusak dirinya, mencemari dirinya, membodohi dirinya, tapi ya kemudian bisa memperbaikinya lagi, membuyarkannya lagi, dan seterusnya. Ada juga yang tetap bertahan dalam posisinya dan mungkin terkesan membela keputusannya. Tapi dalam hatinya menjerit bahwa ia ingin keluar dari situ. Ia ingin menjadi baik-baik. Ia bahkan sekilas mengesankan citra yang religius, tapi tak ada sesuatu yang riil dilakukan. Semuanya segera tenggelam lagi oleh hari-hari dan peristiwa-peristiwa baru yang menyertainya. Aneh ya. Untuk semua itu, suka kubayangkan bahwa di balik sosok yang terlihat dewasa sebenarnya bersembunyi seorang anak kecil. Seseorang mungkin selamanya adalah seorang anak kecil, hanya ia terperangkap ke dalam tubuh yang dewasa.

Maka bila seorang lelaki yang memiliki seorang istri memutuskan untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain, itulah gambaran tentang apa yang dianggap baik olehnya. Untuk sementara, kita bisa menilai dia sebagai ini atau itu. Ingat bahwa selalu ada kesempatan kedua bagi seseorang sebelum seseorang menjadi batu. Tapi pada saat itu, ia juga menunjukkan anggapan-anggapannya tentang yang baik dan yang buruk, yang secara konsekuen harus ia jalani. Maksudku, misalnya ia kemudian menasihati seseorang untuk tidak selingkuh dengan orang lain. Apa nilai dari ucapannya itu kalau dia sendiri ternyata tidak melakukan apa yang ia nasihatkan ? Misalnya lagi, ia marah-marah karena mendapati anaknya sendiri menjalin hubungan rahasia dengan istri orang. Apa dasarnya ia jadi marah-marah ? Bukankah ia sendiri melakukan hal yang sama ? Tapi kita sama tahu bahwa banyak orang seperti itu. Banyak orang membiarkan hal buruk terjadi dalam dirinya sementara di hadapan orang lain ia merasa harus mengatakan hal yang sebaliknya dari yang ia lakukan sendiri. Itulah alasan sebenarnya aku bicara soal anak kecil itu tadi. Aku sering merasa menemukan seorang anak kecil yang merengek dan merajuk, tapi ia terperangkap ke dalam tubuh dewasa, sehingga yang kita lihat adalah perilaku-perilaku yang mungkin aneh dan tidak konsisten.

Soalnya, gimana bisa dijelaskan, kita memilih / memutuskan sesuatu yang baik untuk diri kita, tapi kita pada saat yang sama tidak akan menyarankan pilihan atau keputusan itu pada orang lain ?

Kita mungkin jarang menyadari akibat / implikasi dari pilihan / keputusan terhadap diri kita sendiri. Karena kita tidak hidup sendirian, maka bahkan keputusan yang kita ambil tentang diri kita sendiri mungkin akan bisa punya pengaruh pada orang lain, pada Kemanusiaan.

Sayangku, apakah mencintai seseorang juga sebuah pilihan ? Kita semua ingin saling mencintai dan dicintai. Tetapi kita tidak ingin melakukannya dari balik kedewasaan palsu yang sebenarnya adalah jeruji penjara. Mari kita lepaskan topeng-topeng kita. Selalu masih ada waktu, sebelum kita menjadi batu.

*) Terinspirasi kata-kata dari Jean-Paul Sartre pada artikelnya “Existentialism & Human Emotions".