Saturday, July 07, 2007

Rasionalitas dan Terancam Matinya Kerja Insting

(Ini adalah tulisan yang saya buat tanggal 29 Desember 2005)

Sama seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya selalu tertarik untuk mengungkapkan fenomena-fenomena halus / subtil dari kesadaran atau yang sifatnya sosial-psikologis. Sesuatu yang dianggap wajar begitu saja, atau sesuatu yang mungkin kurang 'ditangkap' oleh pengalaman-pengalaman yang non-reflektif. Apa yang akan saya tuliskan ini sudah lama mengendap dalam pikiran saya, sesuatu yang dulu saya temui serpihan-serpihannya dalam bacaan filsafat tentang Karl Jaspers dan Zen. Dan kini itu menguat lagi dalam kesadaran saya karena ada koinsidensi begini: ada sebuah kalimat dalam filem yang bunyinya kira-kira, "I'd rather be lucky than smart" .... lalu tak lama kemudian dalam sebuah perbincangan melalui radio tentang pengalaman menyolder (merakit / mereparasi alat-alat elektronik) seorang teman dengan caranya sendiri mengungkapkan tentang hal yang kurang lebih sama.

Tidak terlalu mudah untuk menyatakan apa yang saya ingin sampaikan ini. Kalau menuruti bahasa yang langsung keluar dari pikiran saya untuk mendeskripsikan ini, maka saya bisa katakan bahwa ini adalah soal penggunaan rasionalitas, soal penggunaan pikiran yang kita pacu sampai batas-batas kemampuan kita, yang toh tidak selalu menyelesaikan masalah yang kita hadapi, tapi efeknya adalah campur tangan ketidaksadaran (unconsciousness dalam pengertian Freud) pada kesadaran kita menjadi semakin tidak menunjukkan efeknya yang positif / konstruktif, atau mungkin malah mati sama sekali. Saya sudah sadari ini lama sekali. Makanya tidak mengherankan, saya waktu itu langsung tertarik pada sebuah buku yang judulnya "Filsafat Yang Mengelak" (Verhaar, 1980). Saya hanya duga-duga saja bahwa isinya terkait dengan intuisi yang saya dapatkan. Ternyata memang buku itu merupakan perkenalan pertama saya dengan apa yang disebut Zen.

Manusia itu memahami alam semesta dengan dua jalan, yaitu dengan rasionalitasnya dan dengan irasionalitasnya. Rasionalitas mengambil bentuk pikiran dan kesadaran kita, sedangkan irasionalitas mengambil bentuk antara lain insting dan segala yang tidak terjelaskan tentang apa yang membuat kita berdaya, beruntung, atau bernasib baik (!). Sulit untuk membayangkan bahwa manusia bisa sepenuhnya rasional. Kalau kita cermati, ada saja ungkapan-ungkapan manusiawi kita yang sebenarnya menandai adanya kerja irasionalitas itu, seperti reaksi kita kalau kita mengharapkan sesuatu terjadi sesuai keinginan kita, tapi kenyataannya tidak; atau ungkapan kita kalau kita sedang beruntung. Masalahnya di sini adalah, seperti yang tadi saya sitir, apakah penggunaan rasionalitas yang kita pacu itu akan mengurangi potensi munculnya berkah dari irasionalitas diri kita (baca: insting) ?

Dari pengalaman saya, saya cenderung akan menjawab 'ya', tapi jawaban saya ini adalah sebuah ekspresi yang disertai sebuah perasaan ironi. Soalnya, rasionalitas adalah satu-satunya yang kita miliki yang kita dapat kontrol penggunaannya. Rasionalitas adalah berkah dari Tuhan yang memampukan kita untuk memahami dan menyelesaikan banyak masalah. Kita sering tidak menerima kenyataan yang menyakitkan, kita selalu ingin lebih baik dari sebelumnya, kita tidak mau menyerah dengan ketidakberuntungan yang kita alami .... dan semua itu kita hadapi dengan segala daya upaya yang dasarnya adalah rasionalitas. Mengapa penggunaan berkah yang diberikan oleh Tuhan itu dengan satu dan lain cara membuat kita terhantui oleh bayangan bahwa justru kita akan menjadi salah, kalah, sial, tidak tertolong, buntu, bahkan
kesepian ?

Apakah mungkin kita mengontrol penggunaan irasionalitas kita ? Apa bisa kita andalkan misalnya, kalau kita menghadapi jalan buntu penyelesaian masalah lalu kita tidur, dan ketika bangun kita dapati pemecahannya ? Tentu saja tidak!

Oleh karena itu terbersit oleh saya untuk melakukan semacam aksi yang mungkin akan menjadi test probe terhadap situasi ini. Bentuknya jelas sangat tidak masuk akan dan berat sekali, misalnya menerima saja kalau kita mentok dalam suatu masalah, menerima saja kesialan yang suatu ketika kita hadapi, tidak melawan balik seseorang yang mungkin memperlakukan kita secara tidak adil, dan yang penting adalah .... mencoba dengan keras untuk tidak gelisah meski apa yang kita kerjakan mungkin tidak akan berhasil atau malah gagal sama sekali. Apakah aksi-aksi yang begini ini suatu ketika akan membuat perbedaan ? Satu yang pasti: saya mengungkapkan semua ini juga dengan rasionalitas saya. Saya tidak punya kemampuan lain selain itu untuk bisa memaparkan semuanya ini.

Saya menuliskan ini dengan cukup cepat. Dalam prosesnya, kok terbersit juga tentang doa. Apakah mungkin doa adalah jalan tengah dari dua sisi yang tidak jelas saling pengaruhnya itu ? Kita sudah terlanjur teralu sering berdoa dengan bahasa yang tidak kita ketahui arti jelasnya. Mungkin sekarang sudah saatnya kita berdoa dengan puitis. Berdoa dengan betul-betul mengaksentuasikan kegelisahan, kegamangan kita.

Somehow, nampaknya ini adalah jalan lain lagi menuju Tuhan.