Saturday, July 07, 2007

Harga Empati dan Subyektifitas untuk seorang Psikolog

(Ini adalah tulisan yang saya buat bulan Februari 2005)

-- ini adalah insinuasi untuk seseorang --

Semua orang pernah menjalani waktu di mana sesudahnya ia menjadi sadar dengan cara yang tidak biasa tentang makna sesuatu, tentang harga sesuatu. Semakin sering dan banyak ia mengalami itu, ia semakin menjadi tidak naif, dewasa, dan tahu caranya melihat dan memperlakukan sesuatu dengan lebih baik. Saya pikir itu adalah bagian dari proses menjadi manusia. Banyak proses itu harus dijalani dengan bawaan perasaan yang tidak menyenangkan, kesedihan, bahkan penderitaan. Segalanya memang adil. Kita menderita, tapi kita pasti mendapatkan sesuatu dari penderitaan itu.

Yang berbahaya adalah manakala ada seseorang yang hidupnya relatif mulus, tapi dia memiliki jabatan atau profesi yang berhubungan dengan subyektifitas orang. Psikolog dan Psikiater adalah dua profesi yang paling saya maksud. Ada lagi, tapi saya tidak begitu yakin, yaitu dokter dan mereka yang berprofesi di bidang hukum. Mereka yang pekerjaannya berkaitan dengan kejiwaan orang lain akan sangat parah jadinya kalau mereka terlalu obyektif, kurang empatik, naif, dan hidupnya terlalu bahagia.

Terlalu bahagia? Iya bukannya tidak mungkin mereka untuk belajar, tapi pertanyaan pentingnya adalah apakah nilai, makna, dan harga sebuah penderitaan dapat diabstraksikan dengan rasionalitas ? Maksud saya, tanpa mengalami sendiri suatu pengalaman penderitaan, apakah seseorang bisa diharapkan memahami sepenuhnya kedalaman perasaan dan pikiran orang yang sedang ditimpa kemalangan? Ada beberapa hal yang bisa diabstraksikan begitu, tapi saya yakin ada perbedaan kualitas antara belajar memahami sesuatu dengan susah payah melalui pengalaman langsung dan yang hanya belajar memahaminya melalui common sense. Bahaya yang ada adalah, mereka yang mempelajari hal-hal subyektif dari orang lain tanpa mengalaminya sendiri (atau tanpa empati yang memadai) akan cenderung jatuh ke dalam obyektifitas. Alias, menilai dan mengukur segalanya melalui kategori-kategori dengan derajat atau arah-arahan ke kepastian tertentu.

Soal obyektifitas itu, ada hari-hari dalam sejarah pemikiran tentang manusia di mana pertentangan yang ada adalah antara obyektifitas dan subyektifitas. Antara Ilmu dan Filsafat, antara berpikir sistematis dan diagnostik. Ini bukan soal benar atau salah, tapi lebih ke soal apakah kita mau lebih bijaksana. Kalau kita mau lebih bijaksana, ya kedua perspektif itu harus kita ambil untuk menilai sesuatu. Tapi bahkan kesadaran akan hal ini ternyata sering juga tidak bisa diharapkan muncul setelah seseorang memahaminya secara rasional. Orang cenderung obyektif. Orang cenderung mendasarkan segala persepsinya pada kategori-kategori yang ada di kepalanya. Dalam hal ini, saya yakin bahwa seorang psikolog muda juga cenderung obyektif. Maka lebih aman bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang obyektif seperti menganalisa hasil tes atau membuat profil kepribadian. Tapi kalau diserahkan kepada mereka tugas-tugas konsultasi, nampaknya mereka harus menerimanya dengan sebuah kerendahan hati.

Saya bukan psikolog, tapi saya tidak mau bodoh. Dan saya ingin mengajak siapa saja untuk juga tidak bersikap taken-for-granted pada apa yang dikatakan oleh seorang Psikolog, siapapun dia. Malangnya, orang kebanyakan mungkin menghadapi mereka dengan sikap yang kurang lebih sama ketika mereka menghadapi dokter. Mereka menyerahkan subyektifitas mereka dengan imajinasi bahwa seorang psikolog mungkin lebih tahu tentang diri kita daripada kita sendiri. Saya di sini tidak sedang mencanangkan semacam gerakan anti-psikologi, tapi saya ingin menggarisbawahi bahwa pengalaman kita tentang diri kita sendiri punya harga. Harga yang sangat mahal, dan pengalaman itu tidak bisa diutak-atik begitu saja oleh intrusi dari orang luar. Nampaknya yang diperlukan memang bukan saja seorang psikolog yang tidak naif, tapi juga promosi tentang bagaimana cara kita bersikap memperlakukan psikolog.

Seperti sebuah takdir mungkin, bahwa yang obyektif itu yang cenderung menang, dan yang subyektif adalah yang terpinggirkan. Sikap obyektif adalah sebuah cara yang memungkinkan kita bisa melakukan 'share' dengan orang lain karena dengannya kita bisa mengidentifikasikan hal-hal yang relatif sama dalam pengalaman kita. Kita perlu untuk bersikap obyektif, tapi demi penghormatan dan apresiasi kita bahwa Kebenaran itu tidak sekedar hitam-putih, maka kita mesti memberi tempat yang semestinya pada subyektifitas. Ada hal dalam diri manusia yang kedalamannya tidak bisa diukur dengan kata-kata, tidak bisa dibahasakan sama sekali. Maka dari itu harga empati dan subyektifitas bagi seorang psikolog adalah setali dengan kemanusiaannya sendiri: kemanusiaannya yang dengan rendah hati wajib membuka diri dan sadar sepenuhnya bahwa ia mudah terjerumus ke dalam obyektifitas yang mungkin menghakimi orang lain bahkan dunia.

Usia Kemanusiaan mungkin memang sudah ribuan tahun dan sudah ditulis serta dicatat dalam sejarah berbagai macam literatur. Tapi apakah kalau begitu harus diandaikan sudah tidak ada lagi yang tidak terduga? Perlu waktu untuk segalanya bisa terungkap. Namun banyak dari kita yang tidak bisa berharap itu terjadi dengan membiarkannya begitu saja berlalu. Mungkin memang kita harus dengan sadar membuatnya mengalir terus dalam darah, hingga akhirnya merasuk ke dalam seluk beluk, relung-relung hidup kita.